BAB I
Pendahuluan
A.Latar
Belakang
Indonesia
merupakan negara kepulauan yang terdiri dari banyak pulau dan memiliki berbagai
macam suku bangsa, bahasa, adat istiadat atau yang sering kita sebut
kebudayaan. Keanekaragaman budaya yang terdapat di Indonesia merupakan suatu
bukti bahwa Indonesia merupakan negara yang kaya akan budaya.
Suku bangsa
merupakan faktor utama berdirinya kebudayaan yang lebih global, yang biasa kita
sebut dengan kebudayaan nasional. Maka atas dasar itulah segala bentuk kebudayaan
daerah akan sangat berpengaruh terhadap budaya nasional, begitu pula sebaliknya
kebudayaan nasional yang bersumber dari kebudayaan daerah, akan sangat berpengaruh pula terhadap kebudayaan daerah/ kebudayaan lokal.
Salah satu etnis yang paling banyak memiliki kebudayaan
adalah suku Jawa, bukan hanya kebudayaannya yang banyak tetapi bila dilihat
populasinya pun berbanding lurus dengan kebudayaannya.
Karena populasinya yang banyak itulah maka masyarakat etnis
Jawa berdiaspora ke berbagai wilayah di Indonesia maupun keluar Negeri, salah
satunya yaitu di Suriname. Sejarah menceritakan kepada kita bahwa saudara kita
bermigrasi ke Suriname atas kebijakan Pemerintahan yang berkuasa saat itu yakni
Belanda. Mereka dengan berbagai cara ‘memindahkan’ sebagian rakyat Indonesia
yang dominannya masyarakat etnis Jawa ke Suriname untuk dijadikan kuli kontrak
yang akan dipekerjakan di pabrik gula dan
pertambangan bauksit.
B.Rumusan
Masalah
1. Dimanakah lokasi Suriname yang menjadi tempat diaspora etnis Jawa ?
2. Bagaimana sejarah terbentuknya Suriname beserta wilayah pemukiman etnis
Jawa?
3. Bagaimana perkembangan dan penggunaan bahasa Jawa oleh masyarakat etnis
Jawa yang menetap di Suriname ?
4. Bagaimana perkembangan sistem teknologi di Suriname yang dipakai oleh
masyarakat etnis Jawa?
5. Mata pencaharian apa yang dominan dikerjakan oleh masyarakat etnis Jawa
di Suriname?
6. Organisasi apa saja yang
berkembang didalam masyarakat etnis Jawa di Suriname?
7. Bagaimana sistem pengetahuan masyarakat etnis Jawa?
8. Bagaimana Kesenian Jawa yang hidup dan berkembang di Suriname?
9. Bagaimana sistem religi yang dipakai oleh masyarakat etnis Jawa di
Suriname?
10. Perubahan-perubahan apa saja yang terjadi dikalangan masyarakat etni Jawa
yang menetap di Suriname?
C.Tujuan
Untuk
mengetahui,mempelajari dan mengambil suatu pemahaman mengenai unsur-unsur
kerangka etnografi dalam hubungannya dengan masyarakat kontemporer dengan
masyarakat etnis Jawa yang berdiaspora di Suriname sebagai objek kajiannya.
Diantara
kerangka etnografi itu adalah sebagai berikut :
1.lokasi
2.sejarah
3.Bahasa
4.sistem
teknologi
5.mata
pencaharian
6.organisasi
7.sistem
pengetahuan
8.kesenian
9.sistem
religi
10.perubahan-perubahan
yang terjadi
D.Manfaat
untuk penulis :
·
Penulis
mendapatkan wawasan tambahan mengenai masyarakat kontemporer khususnya
masyarakat etnis Jawa yang menetap di Suriname.
Untuk
pembaca :
·
Lebih
banyak pembaca yang mengetahui bahwa etnis Jawa juga tersebar di benua Amerika
yaitu di Suriname
·
Mengenal
lebih dekat kehidupan masyarakat Jawa yang menetap di Suriname
BAB
II
PEMBAHASAN
1.Lokasi
Negara Republik Suriname, negara bekas jajahan Belanda
yang merdeka pada 25 Nopember 1975. Suriname berpenduduk hanya 492.829 jiwa
(sensus penduduk tahun 2004) dan mendiami lahan subur seluas 163.820 km2.
Negara yang menjadi penghasil bouksit (bahan alumunium) terbesar di dunia itu
dihuni oleh penduduk dengan multi ras dan kultur. Ras terbesar adalah suku
Hindustan, 135,177 jiwa (27,4 % jumlah penduduk), disusul kemudian suku Creool,
87,202 jiwa (17,7 %), Marron, 72,553 jiwa (penduduk asli, 14,7 %), Jawa, 71,879
jiwa (14,6 %), dan suku-suku kecil lain seperti Inheems, 18,037 jiwa (3,7 %),
Gemends, Kaukasish, China, dan lain-lain.
Populasi Suriname
berdasarkan sensus tahun 2004 adalah sebagai berikut:
·
Hindu
(27,4%)
·
Kreol
(17,7%)
·
Bushnengro
dan Marun (14,7%)
·
Jawa
(14,6%)
·
Kelompok
lain (6,5%):
·
India
·
Cina
·
Boeroes
(putih, petani)
·
Yahudi
Sefardim dan Yahudi Ashkenaz
·
Libanon
·
Brasil
·
Ada
12,5% berasal dari campuran dan 6,6% tidak terdata
Negara Suriname berbatasan dengan Brazilia sebelah selatan, Guyana Perancis (timur), Guyana Inggris (barat), dan samudera Atlantik (utara). Negara itu dibagi ke dalam 8 distrik utama (semacam propinsi), yaitu: Paramaribo (ibu kota negara), Para, Coronie, Commewijne (konsentrasi utama masyarakat Jawa), Brokopondo, Samaracca, Marowijne (penghasil tambang utama, bauksit), dan Nickerie (pusat persawahan dan lumbung padi).
Seperti Indonesia, Suriname memiliki iklim Tropis dengan
musim hujan lebih panjang dari musim panas. Musim hujan biasanya terjadi pada
bulan Nopember hingga Juli, sedangkan musim panas terjadi pada bulan Juli
hingga Nopember setiap tahun. Itulah, maka tanah Suriname sangat subur, hutan
yang hijau dan berbagai tanaman tumbuh subur di sana. Berbagai tanaman yang
tumbuh di Indonesia, tumbuh pula di sana.
Gambar
1.1 suasana kota Paramaribo
Dalam sejarah panjangnya, wilayah ini ditemukan oleh seorang Spanyol, Kapten Alonso De Ujida, asisten pelayar terkenal Amrico Pespucci pada tahun 1499. Dia sampai di pantai timur laut Amerika Latin dan menemukan kelompok-kelompok suku Marron (Indian) menyebut wilayah itu dengan nama Guyana. Pada tahun 1593, pemerintah Spanyol menjajah wilayah tersebut sampai dengan kedatangan seorang Inggris F.L. Wiilaughby pada tahun 1651 untuk kemudian menjajahnya atas nama pemerintah Inggris. Pada tahun 1667 Belanda berhasil merebut wilayah itu dari tangan Inggris setelah sebelumnya terjadi pertempuran sengit. Kemudian pada tahun 1816, wilayah Guyana itu dibagi menjadi tiga, yaitu: Guyana Perancis (dibawah jajahan Perancis), Guyana Inggris (dibawah jajahan Inggris), dan Suriname (dibawah jajahan Belanda).Belanda menjajah Suriname selama lebih kurang tiga setengah abad. Pada tahun 1950, Suriname diberikan hak otonomi, tahun 1954 menjadi negara bagian Belanda, dan pada 25 Nopember 1975 diberikan hak kemerdekaan.
Gambar 1.2 Peta
pembagian distrik di Suriname
Distrik Commewijne
(konsentrasi utama masyarakat Jawa)
Distrik Commewijne merupakan sebuah distrik diSuriname yang memiliki luas wilayah 2.353 km² dan populasi 25.200 jiwa
(2005). Ibu kotanya ialah Nieuw
Amsterdam. mayoritas penduduk distrik
Commewijne adalah etnis Jawa (50%) Mata pencaharian utama
penduduk Distrik Commewijne adalah pertanian, perkebunan, dan perikanan
Distrik Commewijne di bagi menjadi 6 resorts (ressorten)
yaitu:
Tamanredjo adalah
sebuah desa di Suriname.
desa ini terletak di Distrik Commewijne. Di dekatnya terletak
jalan raya yang menghubungkan Paramaribo dan Moengo/Albina.
Tamanredjo memiliki SPBU terbesar
untuk Moengo.
Kota ini berpenduduk sekitar 5.500 jiwa. Nama Tamanredjo berasal dari bahasa Jawa,
dan dinamai oleh para pendatang Jawa di sana pada tahun 1937.
Gambar 1.3 Orang-orang Jawa di
Meerzarg, Suriname, tempo dulu.
Sesuai
nama, Tamanredjo memang banyak dihuni warga keturunan Jawa, termasuk keluarga
Wagiman Amatmarto (68), generasi pertama yang lahir di Suriname. Orangtua
Wagiman adalah pasangan Amatmarto dan Ngadirah yang berasal dari Purworejo,
Jawa Tengah, yang bekerja di perkebunan tebu milik perusahaan gula Marienburg
milik Nederlandse Handelsmaatschappij. Pada tahun 1890 perusahaan tersebut
melakukan eksperimen dengan mendatangkan tenaga dari Jawa. Dari komunitas
keturunan Jawa itulah muncul nama Tamanredjo.
Di
Tamanredjo anak-anak cukup fasih berbahasa Jawa dan kepala pemerintahan Commewijne berdarah Jawa,
yaitu Humprey Soekimo yang fasih berbahasa Jawa. Commewijne dan Yogyakarta sejak
tahun 2009 dan penandatangan MoU pada tahun 2011 menjalin kerja sama sebagai
kota kembar, sister city.
Jangan
kaget jika di ibu kota Distrik Commewijne, yaitu Niew Amsterdam, terdapat
monumen berupa teklek atau bakiak alas kaki dari kayu dengan pengait terbuat
dari karet ban bekas. Secara onomatopis, menurut telinga orang di Belanda,
teklek dinamai tip-tip. Monumen didirikan untuk memperingati kedatangan 94
imigran pertama dari Jawa pertama, 9 Agustus 1890, dengan kapal Prins Willem II.
2.Sejarah
Pada akhir abad ke-19, pemerintah
Belanda yang menguasai Suriname di Amerika Selatan memerlukan
kuli-kuli untuk dipekerjakan di perkebunan-perkebunan. Sebelumnya, pekerjaan
ini dilakukan oleh para abdi atau budak Negro dari Afrika. Namun,
setelah perbudakan dihapuskan
pada pertengahan abad ke-19, orang-orang Negro, yang disebut sebagai orang Kreol
Suriname, meninggalkan perkebunan dan
berduyun-duyun ke kota-kota di Suriname. Untuk mengganti para kuli perkebunan,
orang Belanda meminta pertolongan Inggris. Suriname
kemudian menjadi jajahan Britania Raya. Sekali waktu,
pernah didatangkan orang Tionghoa. Orang Inggris kemudian
mendatangkan sejumlah kuli kontrak dari Raj Britania (kini India). Pada
akhirnya, orang
Belanda takut akan orang Inggris dan tak mau lagi bergantung
kepada mereka.
Barulah
pemerintah Belanda mencoba mengganti atau menambah orang-orang India, disebut
orang Hindustan Suriname, dengan orang-orang dari Hindia-Belanda (kini Indonesia) yakni orang Jawa. Orang-orang
Jawa ini kebanyakan diambil dengan sistem razia dan dipaksa dikapalkan ke
Suriname. Namun pada akhirnya diberi kontrak yang harus diteken, meskipun
sebenarnya mereka kebanyakan adalah petani dan buruh
kasar yang tuna
aksara.
Pada gilirannya, program 'transmigrasi' dari Hindia-Belanda ke Suriname ini
termasuk sukses. Antara tahun 1890–1939, terdapat lebih dari 33.000 jiwa orang Jawa yang
dibawa ke Suriname. Jika Perang Dunia II tidak meletus, tentulah akan lebih banyak suku Jawa yang
dibawa ke sana.Tak semua penduduk Hindia-Belanda yang dibawa ke Suriname itu etnis Jawa. Selain orang Jawa juga terdapat suku Sunda, Madura, dll.
Orang Jawa tiba di Suriname dengan banyak cara, namun banyak yang dipaksa
atau diculik dari desa-desa. Tak hanya orang Jawa yang dibawa, namun
juga ada orang-orang Madura, Sunda, yang keturunannya menjadi orang Jawa semua di sana.
Artikel pendukung berkaitan dengan
sejarah Masyarakat Jawa di Suriname
Antara News Mataram : http://mataram.antaranews.com/print/12783/menelusuri-jejak-saudara-di-suriname
![]() |
MENELUSURI JEJAK SAUDARA DI SURINAME
Rz.subagiyo
Jakarta (ANTARA) - "Aku durung tahu neng Jowo nanging,
jarene mbahku seka Pengging, Banyudono, Boyolali. Ndhisik tekan kene digowo
Londo dadi kuli kontrak," kata Sadiran Nojoredjo, kakek 73 tahun warga
negara Suriname keturunan Jawa.
Artinya, "saya belum pernah
ke Jawa tapi katanya kakek saya berasal dari Pengging, Banyudono, Boyolali.
Dulu dibawa ke sini oleh Belanda sebagai kuli kontrak."
Itulah sepenggal cerita yang
dikisahkan Sadiran Nojoredjo, kakek 73 tahun warga negara Suriname keturunan
Jawa mengenai leluhurnya yang merupakan salah satu dari ribuan tenaga kerja
perkebunan yang didatangkan Belanda 120 tahun lalu.
Pada 1890 untuk pertama kalinya
kaum imigran dari Jawa (etnis Jawa) menjejakkan kaki di benua Amerika tepatnya
di Suriname, sebuah negara di kawasan Amerika Selatan yang jaraknya dari
Indonesia memerlukan waktu tempuh sekitar 21-23 jam dengan pesawat terbang saat
ini.
Kedatangan imigran Jawa ke
Suriname terbagi tiga tahap yakni pada 1890 tepatnya pada 9 Agustus di kawasan
Marienburg, sebagai daerah tempat pendaratan pertama kali orang Jawa ke negara
yang juga disebut Guyana Belanda itu.
Hampir 33.000 orang Jawa
bermigrasi ke Suriname pada periode 1890-1939. Jawa Tengah dan daerah dekat
Batavia (Jakarta), Surabaya dan Semarang merupakan daerah perekrutan utama.
Hanya 20 hingga 25 persen dari migran Jawa kembali ke negara asal mereka
sebelum Perang Dunia II.
Sadiran menceritakan, sering
kali orang-orang Jawa, pada umumnya masih pemuda, yang dibawa Belanda ke
Suriname bukan atas kemauan maupun kesadaran sendiri namun menurut istilah,
mereka "diwereg" atau ditipu oleh para agen pencari budak.
"Tak jarang anak-anak itu
sedang bermain-main di luar rumah kemudian didatangi seseorang, mereka diajak
bicara-bicara dan seperti terkena hipnotis menurut saja," kata Sadiran
dengan menggunakan bahasa Jawa.
Kisah tersebut diamini oleh Bob
Saridin, salah satu pengusaha Suriname keturunan Jawa yang menyebutkan para
pemuda dari Jawa tersebut oleh Belanda dikatakan akan dipekerjakan di
"tanah seberang" (istilah masyarakat Jawa untuk wilayah luar Jawa
seperti Sumatera, Kalimantan ataupun Sulawesi).
Namun tanpa sepengetahuan mereka,
imigran Jawa tersebut diangkut ke wilayah koloni Belanda di kawasan Karibia
dengan menggunakan kapal laut yang kondisinya memprihatinkan sehingga tak
jarang ada yang mengalami sakit di perjalanan bahkan meninggal di atas kapal.
Pemerintah Belanda menjajikan
para pekerja dari Jawa tersebut akan dikontrak selama lima tahun dan setelah
selesai kontraknya sebagai pekerja perkebunan akan dipulangkan ke tanah Jawa
kembali.
"Mereka juga dijanjikan
gaji sebesar 35 cent sehari dengan jam kerja 12-13 jam. Namun semua itu tidak
pernah ditepati oleh Pemerintah Belanda," katanya.
Bahkan Belanda menetapkan
peraturan yang amat ketat bagi para pekerja perkebunan dari Jawa yakni dilarang
keluar dari kawasan perkebunan, jika diketahui melanggar aturan tersebut maka
dikenakan sanksi dan denda.
Sehingga tak jarang banyak
pekerja dari Jawa yang kehabisan gaji untuk membayar denda karena ketahuan
keluar dari kawasan perkebunan dan akhirnya tidak mampu menabung untuk bisa
kembali ke Jawa.
Keinginan warga Jawa yang berada
di Suriname untuk kembali ke kampung halaman mereka di tanah Jawa begitu besar,
namun harapan tersebut selalu kandas bahkan ketika Indonesia sudah merdeka pada
1945 hambatan itu masih ada.
Ketika para pemimpin politik
Indonesia datang ke Suriname keinginan untuk kembali ke tanah air itu
disampaikan, namun tidak juga membuahkan hasil, meskipun mereka memiliki paspor
Indonesia.
Pada 1954 sekitar 1000 orang
keturunan Jawa di Suriname mencoba untuk kembali ke tanah air namun kapal yang
mereka tumpangi tidak sampai ke Jawa namun hanya di Sumatera sehingga mereka
akhirnya menetap di Sumatera.
Setelah 1950an warga Jawa yang
ada di Suriname sadar bahwa mereka tidak bisa kembali ke Indonesia. Hingga 1975
kesadaran politik dan pendidikan mulai tumbuh di kalangan warga keturunan Jawa.
Mereka yang sebelumnya warga
negera Belanda akhirnya memilih untuk menjadi warga negara Suriname guna
menjalani kehidupan yang baru dan lebih baik.
Dari tahun ke tahun, warga Jawa
di Suriname mengalami perkembangan baik jumlahnya maupun peran mereka dalam
kehidupan sosial, budaya, ekoomi maupun politik.

Orang Jawa menyebar di Suriname, sehingga ada desa bernama Tamanredjo dan Tamansari. Ada pula yang berkumpul di Mariënburg. Namun karena mayoritas kuli kontrak itu adalah etnis Jawa, suku-suku selain Jawa berasimilasi sebagai orang Jawa.
Dilihat dari
asalnya, kurang lebih 70% orang Jawa berasal dari Jawa Tengah, 20% dari Jawa Timur dan 10% dari Jawa Barat. Kurang lebih
90% termasuk etnis Jawa; 5% Sunda; 2,5% Madura dan 2,5% suku lain, termasuk
juga orang-orang dari Batavia (kini Jakarta).
Di antara suku
Jawa tersebut, mayoritas berasal dari Karesidenan Kedu (Kabupaten
Magelang dan sekitarnya). Itulah sebabnya, bahasa Jawa yang
dituturkan di Suriname mirip dengan bahasa Jawa Kedu. Bahasa selain
Jawa seperti Sunda, Madura sudah tak
dituturkan lagi, dan tak memberi pengaruh apapun terhadap bahasa Jawa yang
dituturkan di Suriname. Walaupun demikian, terdapat pula beberapa kata Melayu, dan kata-kata
tersebut memang sudah ada dalam bahasa Jawa masa itu sebelum dibawa ke
Suriname.
Pada
1954 sekitar 1000 orang keturunan Jawa di Suriname mencoba untuk kembali ke
tanah air namun kapal yang mereka tumpangi tidak sampai ke Jawa namun hanya di
Sumatera sehingga mereka akhirnya menetap di Sumatera.
Gambar 2.1 Kapal yang membawa para migran Jawa kembali dari
Suriname pada
1954 (Foto KITLV)
Orang Jawa Suriname sesungguhnya tetap ada kerabat di Tanah Jawa walau
hidupnya jauh terpisah samudra, itu sebabnya bahasa Jawa tetap lestari di daerah Suriname. Mengetahui Indonesia sudah
'merdeka', banyak orang Jawa yang berpunya kembali ke Indonesia.
Kemudian, pada tahun 1975 saat Suriname
merdeka dari Belanda, orang-orang yang termasuk orang Jawa diberi pilihan,
tetap di Suriname atau ikut pindah ke Belanda. Banyak orang Jawa akhirnya
pindah ke Belanda, dan lainnya tetap di Suriname. Rata-rata orang Jawa Suriname beragama Islam, walau ada
sedikit yang beragama lain.
3.Bahasa
Bahasa resmi Suriname adalah bahasa Belanda. Di samping itu
ada bahasa Suranan Tango (Taki Taki, take-take), yaitu bahasa campur-campur,
serapan dari berbagai bahasa di Afrika, Inggris, Belanda, Perancis dan
lain-lain, hingga menjadi bahasa umum di masyarakat. Selain itu ada bahasa
Hindustan Suriname yang dipakai oleh kalangan keturunan India, dan bahasa Jawa
yang dipakai oleh kalangan masyarakat dari suku-suku di Indonesia, terutama
Jawa.
Selain itu, bahasa
Inggris juga digunakan luas, terutama dalam fasilitas dan toko yang
berorientasi pariwisata.
Bahasa Jawa Suriname merupakan ragam atau dialek bahasa
Jawa yang dituturkan diSuriname dan oleh komunitas Jawa
Surinamedi Belanda. Jumlah penuturnya kurang lebih ada 65.000 jiwa di Suriname
dan 30.000 jiwa di Belanda. Orang Jawa Suriname merupakan keturunan kuli kontrak yang didatangkan dariTanah
Jawa dan sekitarnya.
Bahasa Jawa sampai saat ini masih banyak digunakan di
Suriname. Menariknya, bahasa Jawa yang digunakan masyarakat Jawa Suriname
adalah bahasa Jawa yang mereka gunakan ketika berangkat ke negeri Suriname
lebih dari dua abad lalu, yakni bahasa
Jawa Ngoko ( bahasa Jawa sehari-hari yang boleh dibilang bahasa Jawa kasaran).
Sekalipun dalam prakteknya perkembangan bahasa Jawa tersebut tidak mengalami
perkembangan bahkan terancam punah, bahasa Jawa Ngoko tetap bertahan selama
lebih dari 116 tahun, termasuk kelompok di antara masyarakat Jawa Suriname yang
tinggal di Belanda.
Bahasa Jawa yang dituturkan di Suriname mirip
dengan bahasa
Jawa Kedu. Bahasa selain Jawa seperti Sunda, Madura sudah tak
dituturkan lagi, dan tak memberi pengaruh apapun terhadap bahasa Jawa yang
dituturkan di Suriname. Walaupun demikian, terdapat pula beberapa kata Melayu, dan kata-kata
tersebut memang sudah ada dalam bahasa Jawa masa itu sebelum dibawa ke
Suriname.
Di Suriname hanya
terdapat 1 dialek Jawa. Namun, adanya varian-varian kata menunjukkan bahwa di
masa lalu para migran Jawa itu menuturkan sejumlah dialek yang berbeda.
Di Suriname juga
pernah ada penutur bahasa Banyumasan (ngapak-ngapak). Sayangnya, bahasa
ini dianggap tidak baik dan penuturnya sering dihina. Akibatnya, keturunan
mereka tak lagi mempelajari dan menuturkan bahasa Banyumasan. Kosakata bahasa Jawa di
Suriname banyak dipengaruhi oleh bahasa
Belanda dan Sranan Tongo.
Kata-kata Sranan
Tongo yang sudah diserap malah ada yang memiliki bentuk bahasa krama.
Fonologi
bahasa Jawa di Suriname tak berbeda dengan bahasa Jawa baku di Tanah Jawa.
Fonologi Dialek
Kedu yang menjadi leluhur bahasa Jawa Suriname tak berbeda dengan
bahasa Jawa baku. Namun terdapat fenomena baru dalam bahasa Jawa Suriname,
yakni perbedaan antarafonem dental dan retrofleks (/t/ dan /d/ vs. /ṭ/ dan /ḍ/) semakin hilang.
Bahasa
Jawa Suriname memiliki cara penulisan yang berbeda dengan bahasa Jawa di Pulau
Jawa. Pada tahun 1986, bahasa Jawa Suriname mendapatkan cara pengejaan baku. Tabel
di bawah ini menunjukkan perbedaan antara sistem Belanda sebelum PD II dengan ejaan Pusat
Bahasa di Daerah Istimewa Yogyakarta.
Pra-1942
|
Suriname (1986)
|
|
B
|
B
|
B
|
D
|
D
|
D
|
ḍ
|
D
|
Dh
|
Dj
|
J
|
J
|
G
|
G
|
G
|
H
|
H
|
H
|
J
|
Y
|
Y
|
K
|
K
|
K
|
L
|
L
|
L
|
M
|
M
|
M
|
N
|
N
|
N
|
Ng
|
Ng
|
Ng
|
Nj
|
Ny
|
Ny
|
P
|
P
|
P
|
R
|
R
|
R
|
S
|
S
|
S
|
T
|
T
|
T
|
ṭ
|
T
|
Th
|
Tj
|
Ty
|
C
|
W
|
W
|
W
|
Tabel 1.1 ejaan bahasa jawa sebelumPD II suriname dengan Yogyakarta
Kemudian fonem /a/
yang diucapkan seperti [a] ditulis "â". Sehingga, kata macan (harimau)
ditulis mâtjân di Suriname.
Dalam bahasa Jawa
Suriname, terdapat juga basa krama (bahasa halus), namun
tak lagi serupa dengan bahasa Jawa di Jawa. Bahkan generasi mudanya sudah
banyak yang tak bisa menuturkan basa
krama.
Terdapat 3 ragam
bahasa Jawa di Suriname, yakni ngoko, krama dan krama napis. Krama di Jawa
adalah madya dan krama napis adalah krama dan krama
inggil. Dalam bahasa Jawa penggunaan
tingkatan bahasa tersebut, tergantung status yang bersangkutan dan lawan
bicara. Status bisa ditentukan oleh usia, posisi sosial, atau hal-hal lain.
Seorang anak yang bercakap-cakap dengan sebayanya akan berbicara dengan varian
ngoko, namun ketika bercakap dengan orang tuanya akan menggunakan krama andhap
dan krama inggil.
walau mereka pada
umumnya belum pernah melihat Indonesia, mereka sangat fasih dalam berbahasa
Jawa yang digunakan sehar-hari dalam pergaulan antara sesama etnis Jawa. Bukan
di Suraname saja bahasa Jawa digunakan oleh masyarakat yang berasal dari
Indonesia tapi juga di Belanda. Bahkan dari sebuah catatan menyebutkan kurang lebih
65 ribu orang Warga Negara Suriname etnis Jawa dan 30 puluh ribu orang Warga
Negara Belanda etnis Jawa menggunakan Bahasa Jawa dalam bersosialisasi dengan
sesama mereka dalam pergaulan sosial ditengah-tengah masyarakatnya.
Pada umumnya mereka Warga Negara Suriname asal
Indonesia menggunakan nama-nama Indonesia. Disamping menggunakan Nama
Indonesia, Kampung Indonesia, Partai dengan Nama Indonesia, sampai kapanpun
mereka akan mengatakan mereka orang Jawa ( Indonesia ) yang tinggal di Benua
Amerika.
4.Sistem Teknologi
Suriname memiliki daerah pesisir / pantai muda,
terbentuk dari tanah liat yang pekat, antara pasir pantai dan gugusan karang
yang terletak di bawah permukaan laut. Sedangkan pantai tua sebagian besar
wilayahnya terletak di atas permukaan laut. Kedua daerah ini, sejak
diperkenalkannya sistem “polder“ dan pompanisasi, berkembang menjadi daerah
pertanian subur dan wilayah pemukiman penduduk.
Sistem polder/tanggul adalah salah satu sistem
irigasi yang membendung aliran sungai yang mengadopsi pula sistem pompanisasi
yang bekerja menyedot dan membuang air untuk melindungi laham pertanian dari
ancama banjir dan mengairinya pada saat kemarau.
Namun 2 tahun belakangan ini, lahan-lahan pertanian
tersebut banyak yang terlantar akibat krisis keuangan untuk pengelolaan sistem
irigasi yang bergantung kepada pompa.
Daerah dataran tinggi, terletak di sebelah selatan, sepanjang perbatasan dengan wilayah Brazil.
Sebagian besar daerah ini tertutup oleh hutan tropis yang menghasilkan kayu
berkualitas tinggi (kayu keras).
Lebih dari 80 % tanah Suriname masih
berupa hutan belukar yang di dalamnya hidup berbagai jenis/species tumbuhan dan
satwa. Suriname terkenal kaya akan jenis floranya. Di lain jenis tumbuhan yang
terkenal adalah jenis kayu keras seperti Bruinhard, Purplehard dan Zwartekabes.
Kayu-kayu tersebut diekspor dan merupakan sumber devisa negara yang sangat
penting. Di samping itu, Suriname juga terkenal dengan berbagai jenis satwa,
baik yang sudah diternakkan maupun yang masih merupakan binatang liar.
Di suriname
terdapat tiga stasiun televisi dan radio yang menayangkan siaran
berbahasa Jawa yakni TV Garuda, TV Mustika dan TV Pertjajah serta Radio Garuda,
Radio Mustika dan Radio Pertjajah yang semuanya milik keturunan Jawa.
5.Sistem
Mata Pencaharian
Masyarakat jawa di Suriname terus mengalami perkembangan yang
awal kedatangannya dinegara ini sebagai buruh, namun secara perlahan keberadaan
komunitas jawa di Suriname ini mendapat pengakuan hukum dari pemerintah
setempat sehingga memberi harapan baru akan pekerjaan maupun profesi yang layak
bagi masyarakat jawa.
Distrik Commewijne merupakan sebuah distrik di Suriname yang memiliki luas wilayah 2.353 km² dan populasi 25.200 jiwa
(2005). Ibu kotanya ialah Nieuw
Amsterdam. mayoritas penduduk distrik
Commewijne adalah etnis Jawa (50%) Mata pencaharian utama
penduduk Distrik Commewijne dan sebagian besar penduduk suriname adalah dalam
bidang pertanian, perkebunan, dan
perikanan
`Masyarakat Jawa di negara Suriname kini banyak menjadi orang
sukses menjadi pengusaha dengan membuka hotel,cafe,restoran,swalayan kemudian
penyiar radio di radio suriname yang
berbahasa jawa,penyanyi bahkan pejabat negara sebagai menteri dikabinet
Suriname kemudian beberapa masyarakat jawa dinegara ini berprestasi dibidang
politik menduduki jabatan penting dikabinet dinegara Suriname sebagai pejabat
menteri dan jabatan pemerintah lainnya. Prestasi masyarakat jawa di Suriname
lainnya adalah bidang ekonomi dimana masyarakat jawa di negara ini mampu
mengangkat derajat keluarga dengan membangun bisnis dari home industri sampai
perusahaan besar dan banyak menjadi pengusaha sukses baik mendirikan cafe, warung,
toko, restoran, supermaket, swalayan dan jenis usaha lainnya .
Suriname negara kecil di Amerika selatan dengan Parimaribo
sebagai ibukota negara Suriname ternyata telah memberi masa depan dan harapan
yang indah bagi masyarakat jawa yang telah lama menetap dinegara ini,meskipun
pada awal kedatangan masyarakat jawa di Suriname penuh dengan perjuangan dan
tantangan,namun memasuki 1 abad masyarakat jawa di Suriname keberadaan
komunitas jawa ini menjadi momentum penting dalam menggapai masa depan.
Eksistensi
suku Jawa kini menjadi unsur penting pluralisme di Suriname,Sekitar 50 persen
kekayaan kuliner Suriname adalah sumbangan masyarakat Jawa. Mereka sudah tidak
bekerja lagi di perkebunan. Banyak yang menjadi profesional dan mengisi pos
penting di pemerintahan Suriname. Mereka juga memiliki partai politik
tersendiri.
6.Organisasi
Sosial
Berikut
sebagian rekaman gambar kehidupan masyarakat Jawa di Suriname. Foto yang
dipamerkan di Erasmus Huis, Jakarta, sebagian adalah karya fotografer keturunan
Suriname, Matt Soemopawiro
Gambar 6.1
Pernikahan adat Jawa. Mempelai perempuan dan laki-laki dipertemukan (panggih).
Biasanya pihak keluarga perempuan lebih berhak menentukan tanggal dan bentuk
pernikahan.
Yang unik dari orang Jawa Suriname
ini, pernah ada larangan untuk menikah
dengan anak cucu orang sekapal atau satu kerabat. Jadi orang sekapal yang
dibawa ke Suriname itu sudah dianggap bersaudara dan anak cucunya dilarang
saling menikah. Orang Jawa Suriname berjumlah sampai 15% penduduk Suriname.
Tapi
ini cerita jaman dulu, terjadi pada kakek-nenek dari saudara kita yang datang
saat mula pertama ke Suriname, tepatnya pada generasi ke 1 masyarakat Jawa di
Suriname.tetapi saat ini masyarakat Jawa di Suriname sudah sampai pada generasi
ke 4 dan ke 5. kawula muda pun tidak lagi seperti cerita di atas, kini mereka
membaur dengan berbagai suku, etnis, ras yang ada di Suriname. Mereka menikah
dengan siapa-pun yang dicintai untuk membina rumah tangga, asalkan bukan
saudara saja.
Artikel
pendukung berkaitan dengan organisasi sosial
http://www.javanenindiaspora.nl/pages/15?locale=id

Berbagi
pengetahuan: organisasi adat dari Suriname dan Guyana tukar menukar pengalaman
dalam pemetaan sumber daya komunitas dan perencanaan pengelolaan wilayah
5 Juli, 2013
Sebuah
pertukaran kunjungan baru-baru ini antara mitra Forest Peoples Programme dari
Suriname dan Guyana menunjukkan nilai dan manfaat yang luar biasa dari
pembelajaran antar masyarakat. Di bulan Maret 2013 sebuah delegasi
beranggotakan enam anggota organisasi masyarakat Kalin’a and Lokono di
Marowijne (KLIM) dari Suriname mengunjungi kawasan tengah selatan dan ujung
selatan Guyana untuk mengunjungi masyarakat Wapichan dan Makushi (yang
tergabung dalam SCPDA - the South Central Peoples Development Association atau
Asosiasi Pengembangan Masyarakat Kawasan Tengah Selatan) untuk bertukar
pengalaman dan pendekatan terkait pemetaan sumber daya masyarakat dan
perencanaan pengelolaan wilayah. Ini merupakan sesuatu yang sudah sejak lama
diharapkan oleh KLIM dan SCPDA dan berhasil diwujudkan melalui sebuah hibah
dari Siemenpuu Foundation.
Di
bulan Februari 2012, SCPDA meluncurkan sebuah peta digital inovatif dari
wilayah tradisional Wapichan di Guyana dan sebuah garis besar rencana tentang
bagaimana menjaga wilayah tersebut. Rencana dan peta tersebut merupakan bagian
dari kampanye sejak lama masyarakat Wapichan untuk mendapatkan pengakuan legal
atas hak-hak mereka atas tanah adat mereka untuk melindungi sumber daya alam
yang ada di sana dari ancaman-ancaman luar seperti pembalakan, penambangan dan
pengembangan agribisnis. Selama lokakarya dua hari yang diselenggarakan di
benap (balai pertemuan tradisional di desa Shorinab), para anggota tim SCPDA
menjelaskan kepada “saudara-saudara mereka dari Suriname” bagaimana mereka
menghasilkan rencana pengelolaan, dan berbagi pengalaman dan pelajaran yang
didapat dalam penyusunan rencana tersebut, termasuk tantangan-tantangan dalam
fase-fase penyusunannya dan dalam langkah-langkah awal implementasinya.
KLIM
memberitahukan SCPDA tentang konteks masyarakat Suriname dan kerja-kerja yang
selama ini menjadi fokus KLIM, yang mencakup pemetaan masyarakat, riset
sejarah/arsip, riset berbasis komunitas mengenai praktik-praktik tradisional di
Marowijne, proyek-proyek untuk menguatkan lembaga tradisional dan menyusun
konstitusi desa yang akan dijadikan model, peningkatan kapasitas bagi dewan
desa, dan riset tentang dampak perubahan iklim di wilayah tersebut. Tim berbagi
pelajaran yang didapat dan membahas pro kontra tentang pendekatan-pendekatan
tertentu serta metodologi dan urutan kerja.
Kedua
organisasi berbagi sebagian dari rencana tahap-tahap berikutnya, dan meminta
pendapat dan umpan balik satu sama lain. Aktivitas-aktivitas di masa depan
mencakup lanjutan dialog dengan pemerintah-pemerintah mereka, proyek-proyek
konservasi masyarakat, pelatihan bagi dewan desa tentang ketrampilan
kepemimpinan, pemantauan lingkungan berbasis komunitas, dan survey dan
pendataan keanekaragaman hayati.
Setelah
lokakarya berakhir, pertukaran kunjungan dilanjutkan dengan beberapa kunjungan
lapangan dan kunjungan ke wilayah Wapichan, di mana tim SCPDA menunjukkan
kepada KLIM berbagai tempat dan aktivitas yang penting di wilayah tersebut dan
di desa-desa di sana, seperti kawasan-kawasan konservasi masyarakat yang
diusulkan, situs-situs budaya, aktivitas-aktivitas pendidikan, dan
proyek-proyek peningkatan pendapatan setempat. Tim KLIM juga mendapatkan
kesempatan untuk bertemu dengan beberapa tokoh kunci pemuka masyarakat di desa
masing-masing. Selama kunjungan-kunjungan ini masyarakat di sana meluangkan
waktu untuk membicarakan kesamaan antara kerja kedua organisasi lokal tersebut dan
saling tukar menukar pelajaran dan gagasan.
Beberapa
observasi dan refleksi kunci dari pertukaran kunjungan ini adalah bahwa kedua
kelompok masyarakat sama-sama tengah menghadapi tantangan-tantangan yang berat
terkait kurangnya pengakuan hukum atas hak tanah, dan bahwa mereka harus
menempuh proses panjang yang membutuhkan kesabaran dan kegigihan. Peta-peta dan
rencana pengelolaan mereka saling terkait erat
dan harus terus menerus diperbarui; adalah penting untuk menguasai
ketrampilan untuk melakukan hal ini karena banyak aspek teknis yang terlibat.
Kedua mitra ini juga menegaskan bahwa pemimpin yang kuat dengan visi dan
komitmen jangka panjang amat penting, dan pemimpin yang memiliki agenda
tersembunyi dan kepentingan-kepentingan lain dapat merusak aspirasi kolektif,
sehingga lembaga tradisional yang kuat amatlah penting. Satu hal yang KLIM
pelajari dari pendekatan SCPDA adalah bahwa bahkan dalam sebuah wilayah
kolektif pun penting untuk mendapatkan persetujuan tentang batas-batas wilayah
desa dan untuk mendapatkan kesepakatan baik antar desa maupun secara internal
tentang siapa yang bertanggung jawab atas daerah yang mana.
Persahabatan
dan solidaritas erat yang muncul antara masyarakat adat yang bertetangga ini
merupakan elemen pertukaran kunjungan yang membahagiakan
dan
kedua belah pihak menyepakati bahwa SCPDA dan KLIM akan terus saling mendukung
dan saling memberdayakan di masa depan. Dalam hal melakukan kajian/survei
intensif tentang spesies, SCPDA telah memiliki lebih banyak pengalaman dan
mereka telah menerima pelatihan dan bantuan dari organisasi internasional
terkemuka. Para spesialis dari masyarakat Wapichan/Makushi ini telah menawarkan
diri untuk berkunjung dan berbagi keahlian mereka dengan KLIM di saat yang
tepat sebagai langkah berikutnya dalam menguatkan solidaritas antar
komunitas.
Mendekati
akhir kunjungan, Nicholas Fredericks, koordinator SCPDA, menyatakan bahwa
merupakan kehormatan dan kebahagian bagi SCPDA menerima kunjungan KLIM di
wilayah mereka dan bahwa amatlah menarik untuk mendengarkan aktivitas-aktivitas
dan pendekatan-pendekatan KLIM. Dia mengatakan bahwa dia berharap SCPDA dapat
membantu dan memberi dampak pada kerja-kerja yang tengah dilakukan KLIM. Baik
KLIM maupun SCPDA menegaskan bahwa hubungan antara Lower Marowijne dan masyarakat
Rupununi akan diperkuat dan dilanjutkan, dan berbagi pengalaman akan terus
dilakukan. KLIM amat berterima kasih kepada SCPDA dan masyarakat Shorinab atas
sambutan hangat dan keramahtamahan mereka, dan mengundang mereka untuk
mengunjungi Lower Marowijne setiap saat. Koordinator KLIM George Awankaroe
mengatakan bahwa perjalanan kali ini merupakan kunjungan yang berat dengan
jadwal yang padat, namun sangat berharga, menarik dan memberi inspirasi, dan
bahwa kunjungan tersebut telah meletakkan landasan-landasan bagi persahabatan
dan kolaborasi yang lebih erat.
Baik
KLIM maupun SCPDA telah berkomitmen untuk melanjutkan perjuangan mereka untuk
mendapatkan hak kepemilikan hukum atas tanah tradisional mereka, untuk
melindungi sumber daya alam yang ada di sana dari ancaman-ancaman luar seperti
pembalakan, penambangan dan pengembangan agribisnis. Diharapkan bahwa
kolaborasi yang erat antara masyarakat adat di tingkat internasional akan
membantu dalam mencapai hasil semaksimal mungkin bagi komunitas dan lingkungan.
![]() |
Dari artikel diatas kita dapat menarik kesimpulan bahwa
setiap kawasan/distrik di suriname memiliki organisasi adat salah satunya
seperti Kalin’a
and Lokono dari Marowijne (KLIM). Organisasi adat tersebut bisa melakukan
hubungan kerja sama dengan masyarakat adat lainnya seperti contoh diatas
organisasi Kalin’a and Lokono dari Marowijne (KLIM). Yang melakukan hubungan
kerjasama dengan SCPDA - the South Central Peoples Development Association dari
Guyana.
Selain organisasi adat seperti yang disebutkan diatas berikut
ini adapula organisasi-organisasi yang ada di suriname yang berkaitan dengan
masyarakat Jawa :
Perserikatan milik
umat Islam keturunan India, Suriname Muslim Associatie (SMA), memiliki andil besar dalam menyalakan cahaya Islam di Suriname.
Organisasi ini memiliki masjid terbesar di kota Paramaribo dibambah dengan 14
masjid lain yang berada dalam binaannya. Organisasi yang bermazhab Ahli Sunnah
wal Jama’ah al-Hanafi itu mengelola sekolah-sekolah dan 2 panti asuhan anak
yatim yang cukup bagus.
Meskipun dikelola oleh para pengurus dari keturunan India,
tapi terbuka kegiatannya untuk seluruh umat Islam, bahkan salah satu imam
Masjid Terbesar itu adalah seorang ustadz dari keturunan Jawa, dan para
pengajarnya juga ada yang berlatar belakang keturunanbukanIndia.
Stichting der Islamitische Gemeenten in Suriname (SIS), Yayasan Islam Suriname,
Stichting der Islamitische Gemeenten in Suriname (SIS), Yayasan Islam Suriname,
Adalah lembaga paling berpengaruh di Suriname
dari kalangan suku Jawa yang membawa obor perubahan bagi kebangkitan Islam.
Lembaga ini memiliki masjid utama, Masjid Nabawi, dengan 54 masjid lainnya
berada dalam binaannya tersebar luas di distrik Paramaribo dan distrik-distrik
lain. Empat sekolah (madrasah) formal yang didirikan sejak tahun 80-an menjadi
cikal bakal bagi proses pengkaderan dan penempaan sejak dini tentang kesadaran
beragama Islam. Sekolah-sekolah itu diikuti oleh murid-murid dari berbagai suku
dan agama, tidak hanya Jawa dan Islam. Di madrasah-madrasah itu, apapun latar
belakangnya, semua harus mengikuti pelajaran Islam dan kepribadian muslim.
Dakwah yang sangat strategis. Mereka yang non-Islam memeluk Islam ketika
sekolah atau seusai mengikuti pendidikan. Bahkan keluarga mereka pun akhirnya
ikut memeluk Islam seperti anak-anak mereka yang belajar di sekolah-sekolah
itu. Dakwah yang lain dilakukan dengan membangun panti asuhan anak yatim dan
panti jompo.
Vereniging
Herdeking Javaanse Immigratie (VHIJ)
Masyarakat Suriname keturunan Jawa saat ini kini memiliki
perkumpulan yakni Vereniging Herdeking Javaanse Immigratie (VHIJ) atau
Persatuan Mengenang Imigrasi Warga Jawa di Suriname didirikan pada 15 Januari
1985.
7.Sistem
Pengetahuan
Sistem
Pengetahuan Suku Jawa
Salah satu
bentuk sistem pengetahuan yang ada, berkembang, dan masih ada hingga saat ini,
adalah bentuk penanggalan atau kalender. Bentuk kalender Jawa adalah salah satu
bentuk pengetahuan yang maju dan unik yang berhasil diciptakan oleh para
masyarakat Jawa kuno, karena penciptaanya yang terpengaruh unsur budaya islam,
Hindu-Budha, Jawa Kuno, dan bahkan sedikit budaya barat. Namun tetap
dipertahankan penggunaanya hingga saat ini, walaupun penggunaanya yang cukup
rumit, tetapi kalender Jawa lebih lengkap dalam menggambarkan penanggalan,
karena didalamnya berpadu dua sistem penanggalan, baik penanggalan berdasarkan
sistem matahari (sonar/syamsiah) dan juga penanggalan berdasarkan perputaran
bulan (lunar/komariah).
Pada sistem
kalender Jawa, terdapat dua siklus hari yaitu siklus 7 hari seperti yang kita
kenal saat ini, dan sistem panacawara yang mengenal 5 hari pasaran. Sejarah
penggunaan kalender Jawa baru ini, dimulai pada tahun 1625, dimana pada saat
itu, sultan agung, raja kerajaan mataram, yang sedang berusaha menytebarkan
agama islam di pulau Jawa, mengeluarkan dekrit agar wilayah kekuasaanya
menggunakan sistem kalender hijriah, namun angka tahun hijriah tidak digunakan
demi asas kesinambungan. Sehingga pada saat itu adalah tahun 1025 hijriah,
namun tetap menggunakan tahun saka, yaitu tahun 1547.
Dalam sistem
kalender Jawa juga terdapat dua versi nama-nama bulan, yaitu nama bulan dalam
kalender Jawa matahari, dan kalender Jawa bulan. Nama- nama bulan dalam sistem
kalender Jawa komariah (bulan) diantaranya adalah suro, sapar, mulud,
bakdamulud, jumadilawal, jumadil akhir, rejeb, ruwah, poso, sawal, sela, dan
dulkijah. Namun, pada tahun 1855 M, karena sistem penanggalan komariah dianggap
tidak cocok dijadikan patokan petani dalam menentukan masa bercocok tanam, maka
Sri Paduka Mangkunegaran IV mengesahkan sistem kalender berdasarkan sistem
matahari. Dalam kalender matahari pun terdapat dua belas bulan.
Peralatan Hidup
Masyarakat Suku Jawa
Sebagai suatu
kebudayaan, suku Jawa tentu memiliki peralatan dan perlengkapan hidup yang khas
diantaranya yang paling menonjol adalah dalam segi bangunan. Masyarakat yang
bertempat tinggal di daerah Jawa memiliki ciri sendiri dalam bangunan mereka,
khususnya rumah tinggal. Ada beberapa
jenis rumah yang dikenal oleh masyarakat suku Jawa, diantaranya adalah
rumah limasan, rumah joglo, dan rumah serotong. Rumah limasan, adalah rumah yang
paling umum ditemui di daerah Jawa, karena rumah ini merupakan rumah yang
dihuni oleh golongan rakyat jelata. Sedangkan rumah Joglo, umumnya dimiliki
sebagai tempat tinggal para kaum bangsawan, misalnya saja para kerabat keraton.
Umumnya rumah di daerah Jawa
menggunakan bahan batang bambu, glugu (batang pohon nyiur), dan kayu jati
sebagai kerangka atau pondasi rumah. Sedangkan untuk dindingnya, umum digunakan
gedek atau anyaman dari bilik bambu, walaupun sekarang, seiring dengan
perkembangan zaman, banyak juga yang telah menggunakan dinding dari tembok.
Atap pada umumnya terbuat dari anyaman kelapa kering (blarak) dan banyak juga
yang menggunakan genting. Dalam sektor pertanian, alat-alat
pertanian diantantaranya: bajak (luku), grosok, bakul besar tenggok, garu.
8.Kesenian & Kebudayaan
1)
Pemberian Nama ( Artikel
pendukung )
|
Selasa, 20 Agustus 2013, 08:41 http://dunia.news.viva.co.id/news/read/437627-nama-warga-suriname-cerminan-budaya-jawa-dan-latin
|
Berikut
sebagian rekaman gambar kehidupan masyarakat Jawa di Suriname. Foto yang
dipamerkan di Erasmus Huis, Jakarta, sebagian adalah karya fotografer keturunan
Suriname, Matt Soemopawiro
Gambar
8.1 Tarian Jaran Kepang di salah satu sudut kota di Suriname.
Gambar
8.2 Sekelompok masyarakat Suriname memainkan gamelan, alat musik tradisional Jawa
Gambar
8.3 pagelaran wayang kulit
Seni dan budaya
dari Jawa yang masih berkembang di Suriname seperti tari-tarian, kesenian
Djaran Kepang (kuda lumping), Ludruk, Reog ataupun kabaret yakni semacam ludruk
yang pemainnya semuanya laki-laki, termasuk untuk memerankan tokoh perempuan.
Lagu-lagu
berbahasa Jawa, baik dari Indonesia maupun asli karya seniman-seniman musik
Suriname masih berkembang di sana dan disukai kaum muda, meskipun mereka
mengakui hanya sedikit-sedikit kemampuan berbahasa Jawa.
Gedung Sana Budaya,
merupakan satu-satunya gedung kesenian di Suriname yang sering dimanfaatkan
untuk mementaskan seni dan budaya Jawa seperti wayang orang, sendratari, ludruk
maupun lagu-lagu berbahasa Jawa (campur sari), baik oleh penyanyi setempat
diantaranya yang terkenal Edward Kasimun dan Maruf Amastam maupun dari
Indonesia seperti Didi Kempot, Yan Velia, Mus Mulyadi, Verina dan lain-lain.
Orang Jawa yang
tiba di Suriname tidak hanya membawa bahasa dan adat istiadat mereka ke negara
yang baru, namun juga kebudayaan mereka. Penciptaan ulang ungkapan budaya
seperti wayang dan gamelan, didukung oleh pemerintah kolonial dan pemilik
perkebunan di Suriname. Pada tahun 1903 misalnya, perkebunan Mariënburg membeli
perangkat gamelan yang pertama. Juga disediakan tempat untuk mengadakan
pertunjukan gamelan dan wayang. Setelah tiba di negeri Belanda, orang Jawa
tetap mementingkan dipertahankannya kebudayaan dan jati diri mereka. Selain
banyak organisasi Jawa, juga banyak individu yang berusaha untuk mempertahankan
kebudayaan Jawa Suriname dan menurunkannya kepada generasi berikut.
9.Sistem Religi
1) Upacara adat
Berikut
sebagian rekaman gambar kehidupan masyarakat Jawa di Suriname. Foto yang
dipamerkan di Erasmus Huis, Jakarta, sebagian adalah karya fotografer keturunan
Suriname, Matt Soemopawiro
Gambar
9.1 Masyarakat Jawa di Suriname melakukan upacara Slametan. Slametan biasanya
digelar pada saat kelahiran, sunatan, dan lain-lain.
Gambar 9.2 Upacara mitoni. Dilakukan pada saat kehamilan seorang perempuan mencapai usia 7
bulan.
2) Agama
Pada sensus tahun 2007,
rasio antar-agama adalah sebagai berikut:
·
40,7% Kristen (Katolik Roma, Peerke
Donders, Reformed, Protestan, Moravia)
·
19,9% Hindu
·
13,5% Islam
·
5,8% tradisional dan agama lainnya
·
4,4% tak beragama
·
15,7% tidak terdata
Data statistik sensus penduduk Suriname tahun 2007 menunjukkan bahwa Islam di Suriname mencapai
66,307 jiwa (13,5 % dari jumlah penduduk), menduduki peringkat ketiga setelah
agama Kristen, 200,744 jiwa (40,7 %) dan Hindu, 98,240 jiwa (19,9 %). Dari
seluruh umat Islam di Suriname, yang terbanyak berasal dari suku Jawa, 46,156
jiwa (69,6 %) dan yang lain dari Hindustan, 15,636 jiwa (23,6 %) dan suku-suku
lain.
Pada mulanya secara umum masyarakat muslim Suriname memeluk
agama sekedar mewarisi agama nenek moyang. Hal itu terjadi karena mereka memang
datang ke Suriname tidak mendapatkan pendidikan agama yang kuat. Pada kasus
masyarakat muslim Jawa umpamanya, kebanyakan mereka berasal dari tradisi agama
Islam Jawa Abangan yang hanya mengenal Islam sekedar nama dan lebih kental
dengan unsur tradisi dan budaya Jawa. Hal itu terlihat umpamanya, kenapa hingga
sekarang sebagian masih mempertahankan shalat menghadap ke barat seperti nenek
moyang mereka dari Jawa, padahal Suriname berada di sebelah barat Ka’bah.
Namun sejalan dengan perkembangan zaman, pemahaman Islam
semakin membaik, dan kesadaran untuk beragama Islam secara kâffah
(komprehensif) semakin meningkat, maka umat Islam Suriname semakin menunjukkan
jati dirinya. Islam tidak lagi dijadikan sebagai agama warisan nenek moyang,
tapi dipeluknya dengan seutuh kesadaran. Lambat laun Islam tidak saja dijadikan
sebagai agama tradisi nenek moyang, tapi menjadi sebuah jalan kebenaran untuk
mencapai kebahagian dunia dan akhirat. Fenomena seperti itu dapat dengan mudah
kita temui di mana-mana, di kota dan kampung, di pasar dan jalan-jalan.
Berbusana muslim / muslimah menjadi pemandangan yang biasa di tengah-tengah
gempuran model busana Barat yang mengumbar aurat. Sahut menyahut ucapan salam
simbol Islam (Assalâmu’alaikum warahmatullâhi wa barakâtuh) antara muslim Jawa
dengan muslim Hindustan atau Creool, menjadi budaya mereka yang menggambarkan
betapa suasana ukhuwwah dan silaturrahmi itu dibangun begitu indah. Bahkan
tidak jarang persahabatan itu berlanjut dengan membangun hubungan keluarga
dengan menikahnya muslim Jawa dengan muslimah Hindustan umpamanya.
Kondisi keberagamaan masyarakat muslim Suriname yang semakin
tercerahkan itu bukan terjadi dengan sendirinya. Peran lembaga-lembaga
organisasi sosial, yayasan dan masjid dalam melakukan perubahan sikap
keberagamaan itu begitu besar. Berbagai kegiatan dilakukan dalam upaya
menghidupkan api Islam di Suriname dari yang paling tradisional sampai yang
paling modern, dari yang baru tahap mengajarkan membaca huruf-huruf Arab,
hingga upaya pengenalan Islam melalui seminar dan simposium, radio, televisi
dan internet. Dakwah bukan saja untuk umat Islam tapi juga meluas ke semua anak
negeri. Geliat itu begitu terasa hingga pemeluk Islam bukan saja orang Jawa dan
Hindustan, tapi juga satu persatu orang-orang Negro dan kulit putih pun
mencintai Islam. Masjid masyarakat Creool yang terkenal adalah Masjid
Shadaqatul Islam di kota Paramaribo.
10.Perubahan-Perubahan
yang Terjadi
Jawa-Suriname
di Masa Lampau
Gambar 10.1 Orang
Jawa-Suriname di Masa Lampau
Jawa-Suriname Sekarang
Gambar
10.2 masyarakat jawa-suriname sekarang
Lokasi
Orang jawa yang pindah ke luar negeri yang terbesar selain di malaysia adalah
di suriname, sekarang hampir 30% penduduk suriname berasal dari jawa dan sudah
ada partai yang mengkomodasi kepentingan orang jawa, yakni partai Percaya
Luhur.
sekarang
di suriname kemiskinan sangat berkurang dan sebagian besar masyarakatnya mulai
menapaki jalan menuju kearah masyarakat makmur hal ini dapat di lihat dari
penghidupan masyarakat. Dari masyarakat jawa sendiri telah ada enam menteri
yakni yakni Menteri Perdagangan dan Industri, Micheal Miskin; Menteri Dalam
Negeri, Soewarto Moestadja; Menteri Pertanian, Peternakan dan Perikanan,
Hendrik Setrowidjojo; Menteri Tenaga Kerja, Pengembangan Teknologi dan
Lingkungan Hidup, Ginmardo Kromosoeto, Menteri Pendidikan dan Pengembangan
Masyarakat Raymond Sapoen serta Menteri Sosial dan Perumahan Rakyat Hendrik
Sorat Setro Wijojo.
Selain itu
juga Kepala Kepolisian Suriname H Setrosentono serta mantan Ketua Parlemen
Suriname Paul Salam Sumohardjo juga orang jawa.
Seperti
yang diucapkan oleh menteri dalam negeri suriname bahwa setelah mereka
mengunjungi Indonesia baru-baru ini mereka dapat sedikit berbangga karena
melihat sebagian masyarakat jawa masih berperang melawan kemiskinan tetapi
disuriname sudah mulai sedikit maju. Sekarang ini di suriname semua penduduk
yang berusia 60 tahun keatas mendapatkan tunjugan sosial besarnya sekitar satu
juta rupiah dimana uang segitu itu cukup untuk hidup di negeri suriname, mereka
sekarang bangga dan tidak merasa minder lagi dengan indonesia.
Masyarakat Jawa dinegara Suriname
kini banyak menjadi orang sukses menjadi pengusaha dengan membuka
hotel,cafe,restoran,swalayan kemudian penyiar radio di radio suriname berbahasa
jawa ,penyanyi bahkan pejabat negara sebagai menteri dikabinet Suriname.
Suriname negara kecil di Amerika selatan dengan Parimaribo sebagai ibukota
negara Suriname ternyata telah memberi masa depan dan harapan yang indah bagi
masyarakat jawa yang telah lama menetap dinegara ini,meskipun pada awal
kedatangan masyarakat jawa di Suriname penuh dengan perjuangan dan
tantangan,namun memasuki 1 abad masyarakat jawa di Suriname keberadaan
komunitas jawa ini menjadi momentum penting dalam menggapai masa depan .
Meskipun kebudayaan Jawa di negara yang multi etnis tersebut,
terdiri dari suku Hindustan (India), Kreol dan Bushnegro (Afrika), Jawa
(Indonesia), Amerindian, China dan etnis lainnya, itu masih berkembang namun
bahasa Jawa justru sudah tidak lagi mendominasi percakapan sehari-hari.
Nama-nama orang meskipun masih menggunakan nama Jawa namun
umumnya sudah digabung dengan nama-nama barat seperti Stanley Sidoel, Alfons
Satropawiro, Bob Saridin, Hendrik Legiman, Kim Sontosoemarto ataupun Sharon
Pawiroredjo.
Meskipun kebudayaan Jawa di negara yang multi etnis tersebut,
terdiri dari suku Hindustan (India), Kreol dan Bushnegro (Afrika), Jawa
(Indonesia), Amerindian, China dan etnis lainnya, itu masih berkembang namun
bahasa Jawa justru sudah tidak lagi mendominasi percakapan sehari-hari.
Budaya maupun masyarakat Jawa
(keturunan) memang masih berkembang dan eksis di Suriname, namun demikian bukan
lagi Jawa yang "njawani" sebaliknya telah berbaur dengan kultur dan
etnis yang hidup di situ sehingga terlihat sebagai Jawa yang mengglobal.
Maka tak mengherankan jika mendengarkan lagu-lagu berbahasa Jawa di
Suriname namun melodinya beriramakan musik regae ataupun pop manis bukan campur
sari sebagaimana di Indonesia, karena terpengaruh kultur Karibia.
BAB III
PENUTUP
1.Kesimpulan
Orang
Jawa yang tiba di Suriname tidak hanya membawa bahasa dan adat istiadat mereka
ke negara yang baru, namun juga kebudayaan mereka. Penciptaan ulang ungkapan
budaya seperti wayang dan gamelan, didukung oleh pemerintah kolonial dan
pemilik perkebunan di Suriname. Pada tahun 1903 misalnya, perkebunan Mariënburg
membeli perangkat gamelan yang pertama. Juga disediakan tempat untuk mengadakan
pertunjukan gamelan dan wayang. Setelah tiba di negeri Belanda, orang Jawa
tetap mementingkan dipertahankannya kebudayaan dan jati diri mereka. Selain
banyak organisasi Jawa, juga banyak individu yang berusaha untuk mempertahankan
kebudayaan Jawa Suriname dan menurunkannya kepada generasi berikut. Bagaimanapun
mereka adalah saudara kita, bagian dari Indonesia yang tinggal nun jauh di
negeri Amerika sana.
2.Saran
Suatu
kebanggaan tersendiri bagi kita melihat saudara kita di Suriname yang masih
memelihara adat-istiadat dan kebudayaan yang dibawa oleh nenek moyang mereka
yang merupakan bagian dari masyarakat Indonesia, dan akan lebih baik apabila
Pemerintah RI semakin memperbanyak kerjasama dengan saudara-saudara kita
khususnya di Suriname yang kini masyarakatnya yakni etnis Jawa merupakan etnis
dengan populasi terbanyak ketiga di Suriname.
DAFTAR PUSTAKA
http://www.deplu.go.id/_layouts/mobile/PortalDetail-NewsLike.aspx?l=id&ItemID=da0358d4-3d1c-4ebf-a7f7-a56f6ba7ac93
http://marimengenalsuriname.blogspot.com/
http://id.wikipedia.org/wiki/Suriname
http://id.wikipedia.org/wiki/Bahasa_Jawa_Suriname
https://www.facebook.com/permalink.php?id=178631095514766&story_fbid=555594374485101
http://sejarah.kompasiana.com/2011/05/19/suriname-sekarang-326612.html
http://harunarcom.blogspot.com/2012/01/budaya-jawa-subur-di-suriname.html
http://cabiklunik.blogspot.com/2010/10/kehidupan-migrasi-pecel-dan-teklek.html
http://selokartojaya.blogspot.com/2010/10/migrasi-pecel-dan-teklek.html
http://www.antaranews.com/berita/227895/menelusuri-jejak-saudara-di-suriname
http://www.jpnn.com/read/2012/08/30/138038/RI-Suriname-Jalin-Kerjasama-Pendidikan-
http://kemlu.go.id/Pages/News.aspx?IDP=6158&l=id
http://www.tembi.org/cover/2010-04/20100419.htm
http://kopiairhujan.wordpress.com/2011/01/10/suriname-negara-yg-memiliki-hub-darah-dgn-negara-indonesia/
http://sinarharapan.co/index.php/news/read/23626/bangga-menjadi-bagian-dari-indonesia-.html
http://www.w-islam.com/2013/05/995/perkembangan-islam-di-suriname/
http://kageri.blogdetik.com/2011/01/27/peradaban-jawa-di-suriname/
http://www.bungeko.com/2010/01/orang-belanda-kok-namanya-eko.html
http://www.javanenindiaspora.nl/pages/15?locale=id
http://kemlu.go.id/_layouts/mobile/PortalDetail-NewsLike.aspx?l=id&ItemID=685d2e40-3834-4435-9350-d57594a994a5
http://www.forestpeoples.org/fr/node/4575
http://spotunikdananeh.blogspot.com/2012/01/foto-kisah-orang-jawa-di-suriname.html
owh gitu ya hehe
ReplyDelete