Thursday, 15 May 2014

SURINAME dalam Bingkai Etnografi

BAB I
Pendahuluan
A.Latar Belakang
  
Indonesia merupakan negara kepulauan yang terdiri dari banyak pulau dan memiliki berbagai macam suku bangsa, bahasa, adat istiadat atau yang sering kita sebut kebudayaan. Keanekaragaman budaya yang terdapat di Indonesia merupakan suatu bukti bahwa Indonesia merupakan negara yang kaya akan budaya.

Suku bangsa merupakan faktor utama berdirinya kebudayaan yang lebih global, yang biasa kita sebut dengan kebudayaan nasional. Maka atas dasar itulah segala bentuk kebudayaan daerah akan sangat berpengaruh terhadap budaya nasional, begitu pula sebaliknya kebudayaan nasional yang bersumber dari kebudayaan daerah, akan sangat berpengaruh pula terhadap kebudayaan daerah/ kebudayaan lokal.

Salah satu etnis yang paling banyak memiliki kebudayaan adalah suku Jawa, bukan hanya kebudayaannya yang banyak tetapi bila dilihat populasinya pun berbanding lurus dengan kebudayaannya.
Karena populasinya yang banyak itulah maka masyarakat etnis Jawa berdiaspora ke berbagai wilayah di Indonesia maupun keluar Negeri, salah satunya yaitu di Suriname. Sejarah menceritakan kepada kita bahwa saudara kita bermigrasi ke Suriname atas kebijakan Pemerintahan yang berkuasa saat itu yakni Belanda. Mereka dengan berbagai cara ‘memindahkan’ sebagian rakyat Indonesia yang dominannya masyarakat etnis Jawa ke Suriname untuk dijadikan kuli kontrak yang akan dipekerjakan di pabrik gula dan  pertambangan bauksit.




B.Rumusan Masalah
1.      Dimanakah lokasi Suriname yang menjadi tempat diaspora etnis Jawa ?
2.      Bagaimana sejarah terbentuknya Suriname beserta wilayah pemukiman etnis Jawa?
3.      Bagaimana perkembangan dan penggunaan bahasa Jawa oleh masyarakat etnis Jawa yang menetap di Suriname ?
4.      Bagaimana perkembangan sistem teknologi di Suriname yang dipakai oleh masyarakat etnis Jawa?
5.      Mata pencaharian apa yang dominan dikerjakan oleh masyarakat etnis Jawa di Suriname?
6.       Organisasi apa saja yang berkembang didalam masyarakat etnis Jawa di Suriname?
7.      Bagaimana sistem pengetahuan masyarakat etnis Jawa?
8.      Bagaimana Kesenian Jawa yang hidup dan berkembang di Suriname?
9.      Bagaimana sistem religi yang dipakai oleh masyarakat etnis Jawa di Suriname?
10.  Perubahan-perubahan apa saja yang terjadi dikalangan masyarakat etni Jawa yang menetap di Suriname?

C.Tujuan

Untuk mengetahui,mempelajari dan mengambil suatu pemahaman mengenai unsur-unsur kerangka etnografi dalam hubungannya dengan masyarakat kontemporer dengan masyarakat etnis Jawa yang berdiaspora di Suriname sebagai objek kajiannya.
Diantara kerangka etnografi itu adalah sebagai berikut :
1.lokasi
2.sejarah
3.Bahasa
4.sistem teknologi
5.mata pencaharian
6.organisasi
7.sistem pengetahuan
8.kesenian
9.sistem religi
10.perubahan-perubahan yang terjadi

D.Manfaat
    untuk penulis :
·         Penulis mendapatkan wawasan tambahan mengenai masyarakat kontemporer khususnya masyarakat etnis Jawa yang menetap di Suriname.
Untuk pembaca :
·         Lebih banyak pembaca yang mengetahui bahwa etnis Jawa juga tersebar di benua Amerika yaitu di Suriname
·         Mengenal lebih dekat kehidupan masyarakat Jawa yang menetap di Suriname















BAB II
PEMBAHASAN
1.Lokasi
Negara Republik Suriname, negara bekas jajahan Belanda yang merdeka pada 25 Nopember 1975. Suriname berpenduduk hanya 492.829 jiwa (sensus penduduk tahun 2004) dan mendiami lahan subur seluas 163.820 km2. Negara yang menjadi penghasil bouksit (bahan alumunium) terbesar di dunia itu dihuni oleh penduduk dengan multi ras dan kultur. Ras terbesar adalah suku Hindustan, 135,177 jiwa (27,4 % jumlah penduduk), disusul kemudian suku Creool, 87,202 jiwa (17,7 %), Marron, 72,553 jiwa (penduduk asli, 14,7 %), Jawa, 71,879 jiwa (14,6 %), dan suku-suku kecil lain seperti Inheems, 18,037 jiwa (3,7 %), Gemends, Kaukasish, China, dan lain-lain.
Populasi Suriname berdasarkan sensus tahun 2004 adalah sebagai berikut:
·         Hindu (27,4%)
·         Kreol (17,7%)
·         Bushnengro dan Marun (14,7%)
·         Jawa (14,6%)
·         Kelompok lain (6,5%):
·         India
·         Cina
·         Boeroes (putih, petani)
·         Yahudi Sefardim dan Yahudi Ashkenaz
·         Libanon
·         Brasil
·         Ada 12,5% berasal dari campuran dan 6,6% tidak terdata

Negara Suriname berbatasan dengan Brazilia sebelah selatan, Guyana Perancis (timur), Guyana Inggris (barat), dan samudera Atlantik (utara). Negara itu dibagi ke dalam 8 distrik utama (semacam propinsi), yaitu: Paramaribo (ibu kota negara), Para, Coronie, Commewijne (konsentrasi utama masyarakat Jawa), Brokopondo, Samaracca, Marowijne (penghasil tambang utama, bauksit), dan Nickerie (pusat persawahan dan lumbung padi).
Seperti Indonesia, Suriname memiliki iklim Tropis dengan musim hujan lebih panjang dari musim panas. Musim hujan biasanya terjadi pada bulan Nopember hingga Juli, sedangkan musim panas terjadi pada bulan Juli hingga Nopember setiap tahun. Itulah, maka tanah Suriname sangat subur, hutan yang hijau dan berbagai tanaman tumbuh subur di sana. Berbagai tanaman yang tumbuh di Indonesia, tumbuh pula di sana.
Gambar 1.1 suasana kota Paramaribo


Dalam sejarah panjangnya, wilayah ini ditemukan oleh seorang Spanyol, Kapten Alonso De Ujida, asisten pelayar terkenal Amrico Pespucci pada tahun 1499. Dia sampai di pantai timur laut Amerika Latin dan menemukan kelompok-kelompok suku Marron (Indian) menyebut wilayah itu dengan nama Guyana. Pada tahun 1593, pemerintah Spanyol menjajah wilayah tersebut sampai dengan kedatangan seorang Inggris F.L. Wiilaughby pada tahun 1651 untuk kemudian menjajahnya atas nama pemerintah Inggris. Pada tahun 1667 Belanda berhasil merebut wilayah itu dari tangan Inggris setelah sebelumnya terjadi pertempuran sengit. Kemudian pada tahun 1816, wilayah Guyana itu dibagi menjadi tiga, yaitu: Guyana Perancis (dibawah jajahan Perancis), Guyana Inggris (dibawah jajahan Inggris), dan Suriname (dibawah jajahan Belanda).Belanda menjajah Suriname selama lebih kurang tiga setengah abad. Pada tahun 1950, Suriname diberikan hak otonomi, tahun 1954 menjadi negara bagian Belanda, dan pada 25 Nopember 1975 diberikan hak kemerdekaan.
Suriname dibagi menjadi 10 distrik:

Gambar 1.2 Peta pembagian distrik di Suriname
1.     Brokopondo
2.     Commewijne
3.     Coronie
4.     Marowijne
5.     Nickerie
6.     Para
7.     Paramaribo
8.     Saramacca
9.     Sipaliwini
10. Wanica

Distrik Commewijne (konsentrasi utama masyarakat Jawa)
Distrik Commewijne merupakan sebuah distrik diSuriname yang memiliki luas wilayah 2.353 km² dan populasi 25.200 jiwa (2005). Ibu kotanya ialah Nieuw Amsterdam. mayoritas penduduk distrik Commewijne adalah etnis Jawa (50%) Mata pencaharian utama penduduk Distrik Commewijne adalah pertanian, perkebunan, dan perikanan


Distrik Commewijne di bagi menjadi 6 resorts (ressorten) yaitu:
1.     Alkmaar
2.     Bakkie
3.     Margaretha
4.     Meerzorg
5.     Nieuw Amsterdam
6.     Tamanredjo
Tamanredjo adalah sebuah desa di Suriname. desa ini terletak di Distrik Commewijne. Di dekatnya terletak jalan raya yang menghubungkan Paramaribo dan Moengo/Albina. Tamanredjo memiliki SPBU terbesar untuk Moengo. Kota ini berpenduduk sekitar 5.500 jiwa. Nama Tamanredjo berasal dari bahasa Jawa, dan dinamai oleh para pendatang Jawa di sana pada tahun 1937.

Gambar 1.3 Orang-orang Jawa di Meerzarg, Suriname, tempo dulu.

Sesuai nama, Tamanredjo memang banyak dihuni warga keturunan Jawa, termasuk keluarga Wagiman Amatmarto (68), generasi pertama yang lahir di Suriname. Orangtua Wagiman adalah pasangan Amatmarto dan Ngadirah yang berasal dari Purworejo, Jawa Tengah, yang bekerja di perkebunan tebu milik perusahaan gula Marienburg milik Nederlandse Handelsmaatschappij. Pada tahun 1890 perusahaan tersebut melakukan eksperimen dengan mendatangkan tenaga dari Jawa. Dari komunitas keturunan Jawa itulah muncul nama Tamanredjo.

Di Tamanredjo anak-anak cukup fasih berbahasa Jawa dan  kepala pemerintahan Commewijne berdarah Jawa, yaitu Humprey Soekimo yang fasih berbahasa Jawa. Commewijne dan Yogyakarta sejak tahun 2009 dan penandatangan MoU pada tahun 2011 menjalin kerja sama sebagai kota kembar, sister city.

Jangan kaget jika di ibu kota Distrik Commewijne, yaitu Niew Amsterdam, terdapat monumen berupa teklek atau bakiak alas kaki dari kayu dengan pengait terbuat dari karet ban bekas. Secara onomatopis, menurut telinga orang di Belanda, teklek dinamai tip-tip. Monumen didirikan untuk memperingati kedatangan 94 imigran pertama dari Jawa pertama, 9 Agustus 1890, dengan kapal Prins Willem II.


2.Sejarah

Pada akhir abad ke-19, pemerintah Belanda yang menguasai Suriname di Amerika Selatan memerlukan kuli-kuli untuk dipekerjakan di perkebunan-perkebunan. Sebelumnya, pekerjaan ini dilakukan oleh para abdi atau budak Negro dari Afrika. Namun, setelah perbudakan dihapuskan pada pertengahan abad ke-19, orang-orang Negro, yang disebut sebagai orang Kreol Suriname, meninggalkan perkebunan dan berduyun-duyun ke kota-kota di Suriname. Untuk mengganti para kuli perkebunan, orang Belanda meminta pertolongan Inggris. Suriname kemudian menjadi jajahan Britania Raya. Sekali waktu, pernah  didatangkan orang Tionghoa. Orang Inggris kemudian mendatangkan sejumlah kuli kontrak dari Raj Britania (kini India). Pada akhirnya, orang Belanda takut akan orang Inggris dan tak mau lagi bergantung kepada mereka.
Barulah pemerintah Belanda mencoba mengganti atau menambah orang-orang India, disebut orang Hindustan Suriname, dengan orang-orang dari Hindia-Belanda (kini Indonesia)  yakni orang Jawa. Orang-orang Jawa ini kebanyakan diambil dengan sistem razia dan dipaksa dikapalkan ke Suriname. Namun pada akhirnya diberi kontrak yang harus diteken, meskipun sebenarnya mereka kebanyakan adalah petani dan buruh kasar yang tuna aksara.
Pada gilirannya, program 'transmigrasi' dari Hindia-Belanda ke Suriname ini termasuk sukses. Antara tahun 18901939, terdapat lebih dari 33.000 jiwa orang Jawa yang dibawa ke Suriname. Jika Perang Dunia II tidak meletus, tentulah akan lebih banyak suku Jawa yang dibawa ke sana.Tak semua penduduk Hindia-Belanda yang dibawa ke Suriname itu etnis Jawa. Selain orang Jawa juga terdapat suku Sunda, Madura, dll.
Orang Jawa tiba di Suriname dengan banyak cara, namun banyak yang dipaksa atau diculik dari desa-desa. Tak hanya orang Jawa yang dibawa, namun juga ada orang-orang Madura, Sunda, yang keturunannya menjadi orang Jawa semua di sana.

Artikel pendukung berkaitan dengan  sejarah Masyarakat Jawa di Suriname
 

MENELUSURI JEJAK SAUDARA DI SURINAME
Rz.subagiyo
Jakarta (ANTARA) -  "Aku durung tahu neng Jowo nanging, jarene mbahku seka Pengging, Banyudono, Boyolali. Ndhisik tekan kene digowo Londo dadi kuli kontrak," kata Sadiran Nojoredjo, kakek 73 tahun warga negara Suriname keturunan Jawa.
Artinya, "saya belum pernah ke Jawa tapi katanya kakek saya berasal dari Pengging, Banyudono, Boyolali. Dulu dibawa ke sini oleh Belanda sebagai kuli kontrak."
Itulah sepenggal cerita yang dikisahkan Sadiran Nojoredjo, kakek 73 tahun warga negara Suriname keturunan Jawa mengenai leluhurnya yang merupakan salah satu dari ribuan tenaga kerja perkebunan yang didatangkan Belanda 120 tahun lalu.
Pada 1890 untuk pertama kalinya kaum imigran dari Jawa (etnis Jawa) menjejakkan kaki di benua Amerika tepatnya di Suriname, sebuah negara di kawasan Amerika Selatan yang jaraknya dari Indonesia memerlukan waktu tempuh sekitar 21-23 jam dengan pesawat terbang saat ini.
Kedatangan imigran Jawa ke Suriname terbagi tiga tahap yakni pada 1890 tepatnya pada 9 Agustus di kawasan Marienburg, sebagai daerah tempat pendaratan pertama kali orang Jawa ke negara yang juga disebut Guyana Belanda itu.
Hampir 33.000 orang Jawa bermigrasi ke Suriname pada periode 1890-1939. Jawa Tengah dan daerah dekat Batavia (Jakarta), Surabaya dan Semarang merupakan daerah perekrutan utama. Hanya 20 hingga 25 persen dari migran Jawa kembali ke negara asal mereka sebelum Perang Dunia II.
Sadiran menceritakan, sering kali orang-orang Jawa, pada umumnya masih pemuda, yang dibawa Belanda ke Suriname bukan atas kemauan maupun kesadaran sendiri namun menurut istilah, mereka "diwereg" atau ditipu oleh para agen pencari budak.
"Tak jarang anak-anak itu sedang bermain-main di luar rumah kemudian didatangi seseorang, mereka diajak bicara-bicara dan seperti terkena hipnotis menurut saja," kata Sadiran dengan menggunakan bahasa Jawa.
Kisah tersebut diamini oleh Bob Saridin, salah satu pengusaha Suriname keturunan Jawa yang menyebutkan para pemuda dari Jawa tersebut oleh Belanda dikatakan akan dipekerjakan di "tanah seberang" (istilah masyarakat Jawa untuk wilayah luar Jawa seperti Sumatera, Kalimantan ataupun Sulawesi).
Namun tanpa sepengetahuan mereka, imigran Jawa tersebut diangkut ke wilayah koloni Belanda di kawasan Karibia dengan menggunakan kapal laut yang kondisinya memprihatinkan sehingga tak jarang ada yang mengalami sakit di perjalanan bahkan meninggal di atas kapal.
Pemerintah Belanda menjajikan para pekerja dari Jawa tersebut akan dikontrak selama lima tahun dan setelah selesai kontraknya sebagai pekerja perkebunan akan dipulangkan ke tanah Jawa kembali.
"Mereka juga dijanjikan gaji sebesar 35 cent sehari dengan jam kerja 12-13 jam. Namun semua itu tidak pernah ditepati oleh Pemerintah Belanda," katanya.
Bahkan Belanda menetapkan peraturan yang amat ketat bagi para pekerja perkebunan dari Jawa yakni dilarang keluar dari kawasan perkebunan, jika diketahui melanggar aturan tersebut maka dikenakan sanksi dan denda.
Sehingga tak jarang banyak pekerja dari Jawa yang kehabisan gaji untuk membayar denda karena ketahuan keluar dari kawasan perkebunan dan akhirnya tidak mampu menabung untuk bisa kembali ke Jawa.
Keinginan warga Jawa yang berada di Suriname untuk kembali ke kampung halaman mereka di tanah Jawa begitu besar, namun harapan tersebut selalu kandas bahkan ketika Indonesia sudah merdeka pada 1945 hambatan itu masih ada.
Ketika para pemimpin politik Indonesia datang ke Suriname keinginan untuk kembali ke tanah air itu disampaikan, namun tidak juga membuahkan hasil, meskipun mereka memiliki paspor Indonesia.
Pada 1954 sekitar 1000 orang keturunan Jawa di Suriname mencoba untuk kembali ke tanah air namun kapal yang mereka tumpangi tidak sampai ke Jawa namun hanya di Sumatera sehingga mereka akhirnya menetap di Sumatera.
Setelah 1950an warga Jawa yang ada di Suriname sadar bahwa mereka tidak bisa kembali ke Indonesia. Hingga 1975 kesadaran politik dan pendidikan mulai tumbuh di kalangan warga keturunan Jawa.
Mereka yang sebelumnya warga negera Belanda akhirnya memilih untuk menjadi warga negara Suriname guna menjalani kehidupan yang baru dan lebih baik.
Dari tahun ke tahun, warga Jawa di Suriname mengalami perkembangan baik jumlahnya maupun peran mereka dalam kehidupan sosial, budaya, ekoomi maupun politik.
Saati ini dari sekitar 500 ribu jiwa penduduk Suriname, etnis Jawa sekitar 15 persen atau 71.900 jiwa sedangkan mayoritas dari suku Hindustan yakni 135.000 orang, diikuti oleh Afro-Suriname (87.500), Maroon (72.600), dan sisanya etnis lain.


Orang Jawa menyebar di Suriname, sehingga ada desa bernama Tamanredjo dan Tamansari. Ada pula yang berkumpul di Mariënburg.  Namun karena mayoritas kuli kontrak itu adalah etnis Jawa, suku-suku selain Jawa berasimilasi sebagai orang Jawa.
Dilihat dari asalnya, kurang lebih 70% orang Jawa berasal dari Jawa Tengah, 20% dari Jawa Timur dan 10% dari Jawa Barat. Kurang lebih 90% termasuk etnis Jawa; 5% Sunda; 2,5% Madura dan 2,5% suku lain, termasuk juga orang-orang dari Batavia (kini Jakarta).
Di antara suku Jawa tersebut, mayoritas berasal dari Karesidenan Kedu (Kabupaten Magelang dan sekitarnya). Itulah sebabnya, bahasa Jawa yang dituturkan di Suriname mirip dengan bahasa Jawa Kedu. Bahasa selain Jawa seperti Sunda, Madura sudah tak dituturkan lagi, dan tak memberi pengaruh apapun terhadap bahasa Jawa yang dituturkan di Suriname. Walaupun demikian, terdapat pula beberapa kata Melayu, dan kata-kata tersebut memang sudah ada dalam bahasa Jawa masa itu sebelum dibawa ke Suriname.
Pada 1954 sekitar 1000 orang keturunan Jawa di Suriname mencoba untuk kembali ke tanah air namun kapal yang mereka tumpangi tidak sampai ke Jawa namun hanya di Sumatera sehingga mereka akhirnya menetap di Sumatera.

Gambar 2.1 Kapal yang membawa para migran Jawa kembali dari Suriname pada 1954 (Foto KITLV)
Orang Jawa Suriname sesungguhnya tetap ada kerabat di Tanah Jawa walau hidupnya jauh terpisah samudra, itu sebabnya bahasa Jawa tetap lestari di daerah Suriname. Mengetahui Indonesia sudah 'merdeka', banyak orang Jawa yang berpunya kembali ke Indonesia.
 Kemudian, pada tahun 1975 saat Suriname merdeka dari Belanda, orang-orang yang termasuk orang Jawa diberi pilihan, tetap di Suriname atau ikut pindah ke Belanda. Banyak orang Jawa akhirnya pindah ke Belanda, dan lainnya tetap di Suriname. Rata-rata orang Jawa Suriname beragama Islam, walau ada sedikit yang beragama lain.

3.Bahasa

Bahasa resmi Suriname adalah bahasa Belanda. Di samping itu ada bahasa Suranan Tango (Taki Taki, take-take), yaitu bahasa campur-campur, serapan dari berbagai bahasa di Afrika, Inggris, Belanda, Perancis dan lain-lain, hingga menjadi bahasa umum di masyarakat. Selain itu ada bahasa Hindustan Suriname yang dipakai oleh kalangan keturunan India, dan bahasa Jawa yang dipakai oleh kalangan masyarakat dari suku-suku di Indonesia, terutama Jawa. Selain itu, bahasa Inggris juga digunakan luas, terutama dalam fasilitas dan toko yang berorientasi pariwisata.
Bahasa Jawa Suriname merupakan ragam atau dialek bahasa Jawa yang dituturkan diSuriname dan oleh komunitas Jawa Surinamedi Belanda. Jumlah penuturnya kurang lebih ada 65.000 jiwa di Suriname dan 30.000 jiwa di Belanda. Orang Jawa Suriname merupakan keturunan kuli kontrak yang didatangkan dariTanah Jawa dan sekitarnya.
Bahasa Jawa sampai saat ini masih banyak digunakan di Suriname. Menariknya, bahasa Jawa yang digunakan masyarakat Jawa Suriname adalah bahasa Jawa yang mereka gunakan ketika berangkat ke negeri Suriname lebih dari dua abad  lalu, yakni bahasa Jawa Ngoko ( bahasa Jawa sehari-hari yang boleh dibilang bahasa Jawa kasaran). Sekalipun dalam prakteknya perkembangan bahasa Jawa tersebut tidak mengalami perkembangan bahkan terancam punah, bahasa Jawa Ngoko tetap bertahan selama lebih dari 116 tahun, termasuk kelompok di antara masyarakat Jawa Suriname yang tinggal di Belanda.
Bahasa Jawa yang dituturkan di Suriname mirip dengan bahasa Jawa Kedu. Bahasa selain Jawa seperti Sunda, Madura sudah tak dituturkan lagi, dan tak memberi pengaruh apapun terhadap bahasa Jawa yang dituturkan di Suriname. Walaupun demikian, terdapat pula beberapa kata Melayu, dan kata-kata tersebut memang sudah ada dalam bahasa Jawa masa itu sebelum dibawa ke Suriname.
Di Suriname hanya terdapat 1 dialek Jawa. Namun, adanya varian-varian kata menunjukkan bahwa di masa lalu para migran Jawa itu menuturkan sejumlah dialek yang berbeda.
Di Suriname juga pernah ada penutur bahasa Banyumasan (ngapak-ngapak). Sayangnya, bahasa ini dianggap tidak baik dan penuturnya sering dihina. Akibatnya, keturunan mereka tak lagi mempelajari dan menuturkan bahasa Banyumasan. Kosakata bahasa Jawa di Suriname banyak dipengaruhi oleh bahasa Belanda dan Sranan Tongo.
Meskipun demikian, kedua bahasa tersebut tak memengaruhi fonologi dan tata bahasa.
Kata-kata Sranan Tongo yang sudah diserap malah ada yang memiliki bentuk bahasa krama.
Fonologi bahasa Jawa di Suriname tak berbeda dengan bahasa Jawa baku di Tanah Jawa. Fonologi Dialek Kedu yang menjadi leluhur bahasa Jawa Suriname tak berbeda dengan bahasa Jawa baku. Namun terdapat fenomena baru dalam bahasa Jawa Suriname, yakni perbedaan antarafonem dental dan retrofleks (/t/ dan /d/ vs. /ṭ/ dan /ḍ/) semakin hilang.
Bahasa Jawa Suriname memiliki cara penulisan yang berbeda dengan bahasa Jawa di Pulau Jawa. Pada tahun 1986, bahasa Jawa Suriname mendapatkan cara pengejaan baku. Tabel di bawah ini menunjukkan perbedaan antara sistem Belanda sebelum PD II dengan ejaan Pusat Bahasa di Daerah Istimewa Yogyakarta.
Pra-1942
Suriname (1986)
Yogyakarta (1991)
B
B
B
D
D
D
D
Dh
Dj
J
J
G
G
G
H
H
H
J
Y
Y
K
K
K
L
L
L
M
M
M
N
N
N
Ng
Ng
Ng
Nj
Ny
Ny
P
P
P
R
R
R
S
S
S
T
T
T
T
Th
Tj
Ty
C
W
W
W
Tabel 1.1 ejaan bahasa jawa sebelumPD II suriname dengan Yogyakarta

Kemudian fonem /a/ yang diucapkan seperti [a] ditulis "â". Sehingga, kata macan (harimau) ditulis mâtjân di Suriname.
Dalam bahasa Jawa Suriname, terdapat juga basa krama (bahasa halus), namun tak lagi serupa dengan bahasa Jawa di Jawa. Bahkan generasi mudanya sudah banyak yang tak bisa menuturkan basa krama.
Terdapat 3 ragam bahasa Jawa di Suriname, yakni ngoko, krama dan krama napis. Krama di Jawa adalah madya dan krama napis adalah krama dan krama inggil. Dalam bahasa Jawa penggunaan tingkatan bahasa tersebut, tergantung status yang bersangkutan dan lawan bicara. Status bisa ditentukan oleh usia, posisi sosial, atau hal-hal lain. Seorang anak yang bercakap-cakap dengan sebayanya akan berbicara dengan varian ngoko, namun ketika bercakap dengan orang tuanya akan menggunakan krama andhap dan krama inggil.
walau mereka pada umumnya belum pernah melihat Indonesia, mereka sangat fasih dalam berbahasa Jawa yang digunakan sehar-hari dalam pergaulan antara sesama etnis Jawa. Bukan di Suraname saja bahasa Jawa digunakan oleh masyarakat yang berasal dari Indonesia tapi juga di Belanda. Bahkan dari sebuah catatan menyebutkan kurang lebih 65 ribu orang Warga Negara Suriname etnis Jawa dan 30 puluh ribu orang Warga Negara Belanda etnis Jawa menggunakan Bahasa Jawa dalam bersosialisasi dengan sesama mereka dalam pergaulan sosial ditengah-tengah masyarakatnya.
Pada umumnya mereka Warga Negara Suriname asal Indonesia menggunakan nama-nama Indonesia. Disamping menggunakan Nama Indonesia, Kampung Indonesia, Partai dengan Nama Indonesia, sampai kapanpun mereka akan mengatakan mereka orang Jawa ( Indonesia ) yang tinggal di Benua Amerika.

4.Sistem Teknologi

Suriname memiliki daerah pesisir / pantai muda, terbentuk dari tanah liat yang pekat, antara pasir pantai dan gugusan karang yang terletak di bawah permukaan laut. Sedangkan pantai tua sebagian besar wilayahnya terletak di atas permukaan laut. Kedua daerah ini, sejak diperkenalkannya sistem “polder“ dan pompanisasi, berkembang menjadi daerah pertanian subur dan wilayah pemukiman penduduk.
Sistem polder/tanggul adalah salah satu sistem irigasi yang membendung aliran sungai yang mengadopsi pula sistem pompanisasi yang bekerja menyedot dan membuang air untuk melindungi laham pertanian dari ancama banjir dan mengairinya pada saat kemarau.
Namun 2 tahun belakangan ini, lahan-lahan pertanian tersebut banyak yang terlantar akibat krisis keuangan untuk pengelolaan sistem irigasi yang bergantung kepada pompa.
Daerah dataran tinggi, terletak di sebelah selatan, sepanjang perbatasan dengan wilayah Brazil. Sebagian besar daerah ini tertutup oleh hutan tropis yang menghasilkan kayu berkualitas tinggi (kayu keras).
Lebih dari 80 % tanah Suriname masih berupa hutan belukar yang di dalamnya hidup berbagai jenis/species tumbuhan dan satwa. Suriname terkenal kaya akan jenis floranya. Di lain jenis tumbuhan yang terkenal adalah jenis kayu keras seperti Bruinhard, Purplehard dan Zwartekabes. Kayu-kayu tersebut diekspor dan merupakan sumber devisa negara yang sangat penting. Di samping itu, Suriname juga terkenal dengan berbagai jenis satwa, baik yang sudah diternakkan maupun yang masih merupakan binatang liar.
Di suriname  terdapat tiga stasiun televisi dan radio yang menayangkan siaran berbahasa Jawa yakni TV Garuda, TV Mustika dan TV Pertjajah serta Radio Garuda, Radio Mustika dan Radio Pertjajah yang semuanya milik keturunan Jawa.


5.Sistem Mata Pencaharian

Masyarakat jawa di Suriname terus mengalami perkembangan yang awal kedatangannya dinegara ini sebagai buruh, namun secara perlahan keberadaan komunitas jawa di Suriname ini mendapat pengakuan hukum dari pemerintah setempat sehingga memberi harapan baru akan pekerjaan maupun profesi yang layak bagi masyarakat jawa.
Distrik Commewijne merupakan sebuah distrik di Suriname yang memiliki luas wilayah 2.353 km² dan populasi 25.200 jiwa (2005). Ibu kotanya ialah Nieuw Amsterdam. mayoritas penduduk distrik Commewijne adalah etnis Jawa (50%) Mata pencaharian utama penduduk Distrik Commewijne dan sebagian besar penduduk suriname adalah dalam bidang  pertanian, perkebunan, dan perikanan
`Masyarakat Jawa di negara Suriname kini banyak menjadi orang sukses menjadi pengusaha dengan membuka hotel,cafe,restoran,swalayan kemudian penyiar radio di radio suriname yang  berbahasa jawa,penyanyi bahkan pejabat negara sebagai menteri dikabinet Suriname kemudian beberapa masyarakat jawa dinegara ini berprestasi dibidang politik menduduki jabatan penting dikabinet dinegara Suriname sebagai pejabat menteri dan jabatan pemerintah lainnya. Prestasi masyarakat jawa di Suriname lainnya adalah bidang ekonomi dimana masyarakat jawa di negara ini mampu mengangkat derajat keluarga dengan membangun bisnis dari home industri sampai perusahaan besar dan banyak menjadi pengusaha sukses baik mendirikan cafe, warung, toko, restoran, supermaket, swalayan dan jenis usaha lainnya .
Suriname negara kecil di Amerika selatan dengan Parimaribo sebagai ibukota negara Suriname ternyata telah memberi masa depan dan harapan yang indah bagi masyarakat jawa yang telah lama menetap dinegara ini,meskipun pada awal kedatangan masyarakat jawa di Suriname penuh dengan perjuangan dan tantangan,namun memasuki 1 abad masyarakat jawa di Suriname keberadaan komunitas jawa ini menjadi momentum penting dalam menggapai masa depan.
Eksistensi suku Jawa kini menjadi unsur penting pluralisme di Suriname,Sekitar 50 persen kekayaan kuliner Suriname adalah sumbangan masyarakat Jawa. Mereka sudah tidak bekerja lagi di perkebunan. Banyak yang menjadi profesional dan mengisi pos penting di pemerintahan Suriname. Mereka juga memiliki partai politik tersendiri.

6.Organisasi Sosial
Berikut sebagian rekaman gambar kehidupan masyarakat Jawa di Suriname. Foto yang dipamerkan di Erasmus Huis, Jakarta, sebagian adalah karya fotografer keturunan Suriname, Matt Soemopawiro

Gambar 6.1 Pernikahan adat Jawa. Mempelai perempuan dan laki-laki dipertemukan (panggih). Biasanya pihak keluarga perempuan lebih berhak menentukan tanggal dan bentuk pernikahan.


Yang unik dari orang Jawa Suriname ini, pernah ada  larangan untuk menikah dengan anak cucu orang sekapal atau satu kerabat. Jadi orang sekapal yang dibawa ke Suriname itu sudah dianggap bersaudara dan anak cucunya dilarang saling menikah. Orang Jawa Suriname berjumlah sampai 15% penduduk Suriname.
Tapi ini cerita jaman dulu, terjadi pada kakek-nenek dari saudara kita yang datang saat mula pertama ke Suriname, tepatnya pada generasi ke 1 masyarakat Jawa di Suriname.tetapi saat ini masyarakat Jawa di Suriname sudah sampai pada generasi ke 4 dan ke 5. kawula muda pun tidak lagi seperti cerita di atas, kini mereka membaur dengan berbagai suku, etnis, ras yang ada di Suriname. Mereka menikah dengan siapa-pun yang dicintai untuk membina rumah tangga, asalkan bukan saudara saja.


Artikel pendukung berkaitan dengan organisasi sosial 
http://www.javanenindiaspora.nl/pages/15?locale=id
 

Berbagi pengetahuan: organisasi adat dari Suriname dan Guyana tukar menukar pengalaman dalam pemetaan sumber daya komunitas dan perencanaan pengelolaan wilayah
5 Juli, 2013
Sebuah pertukaran kunjungan baru-baru ini antara mitra Forest Peoples Programme dari Suriname dan Guyana menunjukkan nilai dan manfaat yang luar biasa dari pembelajaran antar masyarakat. Di bulan Maret 2013 sebuah delegasi beranggotakan enam anggota organisasi masyarakat Kalin’a and Lokono di Marowijne (KLIM) dari Suriname mengunjungi kawasan tengah selatan dan ujung selatan Guyana untuk mengunjungi masyarakat Wapichan dan Makushi (yang tergabung dalam SCPDA - the South Central Peoples Development Association atau Asosiasi Pengembangan Masyarakat Kawasan Tengah Selatan) untuk bertukar pengalaman dan pendekatan terkait pemetaan sumber daya masyarakat dan perencanaan pengelolaan wilayah. Ini merupakan sesuatu yang sudah sejak lama diharapkan oleh KLIM dan SCPDA dan berhasil diwujudkan melalui sebuah hibah dari Siemenpuu Foundation.
Di bulan Februari 2012, SCPDA meluncurkan sebuah peta digital inovatif dari wilayah tradisional Wapichan di Guyana dan sebuah garis besar rencana tentang bagaimana menjaga wilayah tersebut. Rencana dan peta tersebut merupakan bagian dari kampanye sejak lama masyarakat Wapichan untuk mendapatkan pengakuan legal atas hak-hak mereka atas tanah adat mereka untuk melindungi sumber daya alam yang ada di sana dari ancaman-ancaman luar seperti pembalakan, penambangan dan pengembangan agribisnis. Selama lokakarya dua hari yang diselenggarakan di benap (balai pertemuan tradisional di desa Shorinab), para anggota tim SCPDA menjelaskan kepada “saudara-saudara mereka dari Suriname” bagaimana mereka menghasilkan rencana pengelolaan, dan berbagi pengalaman dan pelajaran yang didapat dalam penyusunan rencana tersebut, termasuk tantangan-tantangan dalam fase-fase penyusunannya dan dalam langkah-langkah awal implementasinya.    
KLIM memberitahukan SCPDA tentang konteks masyarakat Suriname dan kerja-kerja yang selama ini menjadi fokus KLIM, yang mencakup pemetaan masyarakat, riset sejarah/arsip, riset berbasis komunitas mengenai praktik-praktik tradisional di Marowijne, proyek-proyek untuk menguatkan lembaga tradisional dan menyusun konstitusi desa yang akan dijadikan model, peningkatan kapasitas bagi dewan desa, dan riset tentang dampak perubahan iklim di wilayah tersebut. Tim berbagi pelajaran yang didapat dan membahas pro kontra tentang pendekatan-pendekatan tertentu serta metodologi dan urutan kerja. 
Kedua organisasi berbagi sebagian dari rencana tahap-tahap berikutnya, dan meminta pendapat dan umpan balik satu sama lain. Aktivitas-aktivitas di masa depan mencakup lanjutan dialog dengan pemerintah-pemerintah mereka, proyek-proyek konservasi masyarakat, pelatihan bagi dewan desa tentang ketrampilan kepemimpinan, pemantauan lingkungan berbasis komunitas, dan survey dan pendataan keanekaragaman hayati. 
Setelah lokakarya berakhir, pertukaran kunjungan dilanjutkan dengan beberapa kunjungan lapangan dan kunjungan ke wilayah Wapichan, di mana tim SCPDA menunjukkan kepada KLIM berbagai tempat dan aktivitas yang penting di wilayah tersebut dan di desa-desa di sana, seperti kawasan-kawasan konservasi masyarakat yang diusulkan, situs-situs budaya, aktivitas-aktivitas pendidikan, dan proyek-proyek peningkatan pendapatan setempat. Tim KLIM juga mendapatkan kesempatan untuk bertemu dengan beberapa tokoh kunci pemuka masyarakat di desa masing-masing. Selama kunjungan-kunjungan ini masyarakat di sana meluangkan waktu untuk membicarakan kesamaan antara kerja kedua organisasi lokal tersebut dan saling tukar menukar pelajaran dan gagasan.
Beberapa observasi dan refleksi kunci dari pertukaran kunjungan ini adalah bahwa kedua kelompok masyarakat sama-sama tengah menghadapi tantangan-tantangan yang berat terkait kurangnya pengakuan hukum atas hak tanah, dan bahwa mereka harus menempuh proses panjang yang membutuhkan kesabaran dan kegigihan. Peta-peta dan rencana pengelolaan mereka saling terkait erat  dan harus terus menerus diperbarui; adalah penting untuk menguasai ketrampilan untuk melakukan hal ini karena banyak aspek teknis yang terlibat. Kedua mitra ini juga menegaskan bahwa pemimpin yang kuat dengan visi dan komitmen jangka panjang amat penting, dan pemimpin yang memiliki agenda tersembunyi dan kepentingan-kepentingan lain dapat merusak aspirasi kolektif, sehingga lembaga tradisional yang kuat amatlah penting. Satu hal yang KLIM pelajari dari pendekatan SCPDA adalah bahwa bahkan dalam sebuah wilayah kolektif pun penting untuk mendapatkan persetujuan tentang batas-batas wilayah desa dan untuk mendapatkan kesepakatan baik antar desa maupun secara internal tentang siapa yang bertanggung jawab atas daerah yang mana. 
Persahabatan dan solidaritas erat yang muncul antara masyarakat adat yang bertetangga ini merupakan elemen pertukaran kunjungan yang membahagiakan
dan kedua belah pihak menyepakati bahwa SCPDA dan KLIM akan terus saling mendukung dan saling memberdayakan di masa depan. Dalam hal melakukan kajian/survei intensif tentang spesies, SCPDA telah memiliki lebih banyak pengalaman dan mereka telah menerima pelatihan dan bantuan dari organisasi internasional terkemuka. Para spesialis dari masyarakat Wapichan/Makushi ini telah menawarkan diri untuk berkunjung dan berbagi keahlian mereka dengan KLIM di saat yang tepat sebagai langkah berikutnya dalam menguatkan solidaritas antar komunitas.  
Mendekati akhir kunjungan, Nicholas Fredericks, koordinator SCPDA, menyatakan bahwa merupakan kehormatan dan kebahagian bagi SCPDA menerima kunjungan KLIM di wilayah mereka dan bahwa amatlah menarik untuk mendengarkan aktivitas-aktivitas dan pendekatan-pendekatan KLIM. Dia mengatakan bahwa dia berharap SCPDA dapat membantu dan memberi dampak pada kerja-kerja yang tengah dilakukan KLIM. Baik KLIM maupun SCPDA menegaskan bahwa hubungan antara Lower Marowijne dan masyarakat Rupununi akan diperkuat dan dilanjutkan, dan berbagi pengalaman akan terus dilakukan. KLIM amat berterima kasih kepada SCPDA dan masyarakat Shorinab atas sambutan hangat dan keramahtamahan mereka, dan mengundang mereka untuk mengunjungi Lower Marowijne setiap saat. Koordinator KLIM George Awankaroe mengatakan bahwa perjalanan kali ini merupakan kunjungan yang berat dengan jadwal yang padat, namun sangat berharga, menarik dan memberi inspirasi, dan bahwa kunjungan tersebut telah meletakkan landasan-landasan bagi persahabatan dan kolaborasi yang lebih erat.  
Baik KLIM maupun SCPDA telah berkomitmen untuk melanjutkan perjuangan mereka untuk mendapatkan hak kepemilikan hukum atas tanah tradisional mereka, untuk melindungi sumber daya alam yang ada di sana dari ancaman-ancaman luar seperti pembalakan, penambangan dan pengembangan agribisnis. Diharapkan bahwa kolaborasi yang erat antara masyarakat adat di tingkat internasional akan membantu dalam mencapai hasil semaksimal mungkin bagi komunitas dan lingkungan.
 

Dari artikel diatas kita dapat menarik kesimpulan bahwa setiap kawasan/distrik di suriname memiliki organisasi adat salah satunya seperti Kalin’a and Lokono dari Marowijne (KLIM). Organisasi adat tersebut bisa melakukan hubungan kerja sama dengan masyarakat adat lainnya seperti contoh diatas organisasi Kalin’a and Lokono dari Marowijne (KLIM). Yang melakukan hubungan kerjasama dengan SCPDA - the South Central Peoples Development Association dari Guyana.
Selain organisasi adat seperti yang disebutkan diatas berikut ini adapula organisasi-organisasi yang ada di suriname yang berkaitan dengan masyarakat Jawa :
Perserikatan milik umat Islam keturunan India, Suriname Muslim Associatie (SMA), memiliki andil besar dalam menyalakan cahaya Islam di Suriname. Organisasi ini memiliki masjid terbesar di kota Paramaribo dibambah dengan 14 masjid lain yang berada dalam binaannya. Organisasi yang bermazhab Ahli Sunnah wal Jama’ah al-Hanafi itu mengelola sekolah-sekolah dan 2 panti asuhan anak yatim yang cukup bagus.
Meskipun dikelola oleh para pengurus dari keturunan India, tapi terbuka kegiatannya untuk seluruh umat Islam, bahkan salah satu imam Masjid Terbesar itu adalah seorang ustadz dari keturunan Jawa, dan para pengajarnya juga ada yang berlatar belakang keturunanbukanIndia.

Stichting der Islamitische Gemeenten in Suriname (SIS), Yayasan Islam Suriname,
 Adalah lembaga paling berpengaruh di Suriname dari kalangan suku Jawa yang membawa obor perubahan bagi kebangkitan Islam. Lembaga ini memiliki masjid utama, Masjid Nabawi, dengan 54 masjid lainnya berada dalam binaannya tersebar luas di distrik Paramaribo dan distrik-distrik lain. Empat sekolah (madrasah) formal yang didirikan sejak tahun 80-an menjadi cikal bakal bagi proses pengkaderan dan penempaan sejak dini tentang kesadaran beragama Islam. Sekolah-sekolah itu diikuti oleh murid-murid dari berbagai suku dan agama, tidak hanya Jawa dan Islam. Di madrasah-madrasah itu, apapun latar belakangnya, semua harus mengikuti pelajaran Islam dan kepribadian muslim. Dakwah yang sangat strategis. Mereka yang non-Islam memeluk Islam ketika sekolah atau seusai mengikuti pendidikan. Bahkan keluarga mereka pun akhirnya ikut memeluk Islam seperti anak-anak mereka yang belajar di sekolah-sekolah itu. Dakwah yang lain dilakukan dengan membangun panti asuhan anak yatim dan panti jompo.

Vereniging Herdeking Javaanse Immigratie (VHIJ)
Masyarakat Suriname keturunan Jawa saat ini kini memiliki perkumpulan yakni Vereniging Herdeking Javaanse Immigratie (VHIJ) atau Persatuan Mengenang Imigrasi Warga Jawa di Suriname didirikan pada 15 Januari 1985.




7.Sistem Pengetahuan
Sistem Pengetahuan Suku Jawa
Salah satu bentuk sistem pengetahuan yang ada, berkembang, dan masih ada hingga saat ini, adalah bentuk penanggalan atau kalender. Bentuk kalender Jawa adalah salah satu bentuk pengetahuan yang maju dan unik yang berhasil diciptakan oleh para masyarakat Jawa kuno, karena penciptaanya yang terpengaruh unsur budaya islam, Hindu-Budha, Jawa Kuno, dan bahkan sedikit budaya barat. Namun tetap dipertahankan penggunaanya hingga saat ini, walaupun penggunaanya yang cukup rumit, tetapi kalender Jawa lebih lengkap dalam menggambarkan penanggalan, karena didalamnya berpadu dua sistem penanggalan, baik penanggalan berdasarkan sistem matahari (sonar/syamsiah) dan juga penanggalan berdasarkan perputaran bulan (lunar/komariah).

Pada sistem kalender Jawa, terdapat dua siklus hari yaitu siklus 7 hari seperti yang kita kenal saat ini, dan sistem panacawara yang mengenal 5 hari pasaran. Sejarah penggunaan kalender Jawa baru ini, dimulai pada tahun 1625, dimana pada saat itu, sultan agung, raja kerajaan mataram, yang sedang berusaha menytebarkan agama islam di pulau Jawa, mengeluarkan dekrit agar wilayah kekuasaanya menggunakan sistem kalender hijriah, namun angka tahun hijriah tidak digunakan demi asas kesinambungan. Sehingga pada saat itu adalah tahun 1025 hijriah, namun tetap menggunakan tahun saka, yaitu tahun 1547.

Dalam sistem kalender Jawa juga terdapat dua versi nama-nama bulan, yaitu nama bulan dalam kalender Jawa matahari, dan kalender Jawa bulan. Nama- nama bulan dalam sistem kalender Jawa komariah (bulan) diantaranya adalah suro, sapar, mulud, bakdamulud, jumadilawal, jumadil akhir, rejeb, ruwah, poso, sawal, sela, dan dulkijah. Namun, pada tahun 1855 M, karena sistem penanggalan komariah dianggap tidak cocok dijadikan patokan petani dalam menentukan masa bercocok tanam, maka Sri Paduka Mangkunegaran IV mengesahkan sistem kalender berdasarkan sistem matahari. Dalam kalender matahari pun terdapat dua belas bulan.

   


Peralatan Hidup Masyarakat Suku Jawa

Sebagai suatu kebudayaan, suku Jawa tentu memiliki peralatan dan perlengkapan hidup yang khas diantaranya yang paling menonjol adalah dalam segi bangunan. Masyarakat yang bertempat tinggal di daerah Jawa memiliki ciri sendiri dalam bangunan mereka, khususnya rumah tinggal. Ada beberapa  jenis rumah yang dikenal oleh masyarakat suku Jawa, diantaranya adalah rumah limasan, rumah joglo, dan rumah serotong. Rumah limasan, adalah rumah yang paling umum ditemui di daerah Jawa, karena rumah ini merupakan rumah yang dihuni oleh golongan rakyat jelata. Sedangkan rumah Joglo, umumnya dimiliki sebagai tempat tinggal para kaum bangsawan, misalnya saja para kerabat keraton.

Umumnya rumah di daerah Jawa menggunakan bahan batang bambu, glugu (batang pohon nyiur), dan kayu jati sebagai kerangka atau pondasi rumah. Sedangkan untuk dindingnya, umum digunakan gedek atau anyaman dari bilik bambu, walaupun sekarang, seiring dengan perkembangan zaman, banyak juga yang telah menggunakan dinding dari tembok. Atap pada umumnya terbuat dari anyaman kelapa kering (blarak) dan banyak juga yang menggunakan genting. Dalam sektor pertanian, alat-alat pertanian diantantaranya: bajak (luku), grosok, bakul besar tenggok, garu.









8.Kesenian & Kebudayaan
1) Pemberian Nama  ( Artikel pendukung )


Nama Warga Suriname Cerminan Budaya Jawa dan Latin

Budaya Jawa memang masih sangat kental di Suriname.

 

VI   VIVAnews - Menteri Dalam Negeri Suriname, Soewarto Moestadja, mengatakan generasi muda di Suriname saat ini sudah lebih fleksibel dalam memberikan nama. 

Mereka bukan hanya sekedar memasukkan unsur budaya Jawa dalam nama anak-anak mereka, namun sudah mengkombinasikannya dengan budaya Latin yang hidup di sana. 

Demikian diungkap Moestadja, saat ditemui media dalam Kongres II Diaspora, Senin malam, 19 Agustus 2013 di Jakarta Convention Center (JCC). Moestadja kemudian memberikan satu contoh nama yang merupakan kombinasi budaya Latin dan Jawa. 

"Contohnya, Paul Salam Sumoharjo. Itu merupakan salah satu contoh nyata betapa generasi muda Suriname saat ini sudah masuk ke dalam kategori trans nasional, salah satunya disebabkan karena perkembangan teknologi yang pesat," kata  Moestadja.

Moestadja mengakui budaya Jawa memang masih sangat kental di Suriname. Menurut dia hal itu disebabkan etnis Jawa merupakan suku terbesar keempat di Suriname setelah India Hindustani, Creole dan Maroons. 

Dia kemudian berkisah awal mula Suriname dipenuhi oleh penduduk etnis Jawa. Pada masa Indonesia dijajah Belanda, banyak orang Jawa yang dikirim ke sana sebagai buruh dan bekerja di perkebunan tebu. Saat itu ada sekitar 33.302 orang Jawa yang dikirim. 

"Hal itu terjadi pada periode 1819-1939, sehingga kini kami memiliki penduduk Jawa dan menjadikan penduduk kami semakin beragam," ungkap Moestadja.

Moestadja mengaku termasuk penduduk etnis Jawa yang memiliki darah langsung dari sang ayah dan kakek. Pria yang menjabat sebagai Menteri di tahun 2010 kemudian bercerita kedua keluarganya itu berasal dari Desa Kalirancang, Kebumen, Jawa Tengah. 

"Kakek saya membawa ayah saya yang saat itu masih berusia tiga tahun untuk ikut ke Suriname. Kakek dulu pernah kembali ke Yogyakarta, namun
ayah saya tetap tinggal di Indonesia," tutur Moestadja. 


 



















      Saat awal kepindahan ke Suriname,  Moestadja menceritakan, tidak semua orang Jawa merasa kerasan. Banyak yang mengaku kangen kampung halamannya dan ingin kembali pulang atau lazim disebut "Mulih Jowo".
Hal itu disebabkan area lingkungan Suriname sangat berbeda dengan Pulau Jawa. Namun mantan Presiden Soekarno kala itu menyarankan sebaliknya, warga Jawa untuk tetap tinggal di Suriname dan jangan kembali.

"Saya ingat saat itu Bung Karno meminta kami agar menganggap Suriname sebagai bagian dari rumah kami sendiri. Itulah yang akhirnya membuat kami mampu bertahan hidup dan beradaptasi dengan lingkungan baru di Suriname," kata dia. 

 

Berikut sebagian rekaman gambar kehidupan masyarakat Jawa di Suriname. Foto yang dipamerkan di Erasmus Huis, Jakarta, sebagian adalah karya fotografer keturunan Suriname, Matt Soemopawiro

Gambar 8.1 Tarian Jaran Kepang di salah satu sudut kota di Suriname.

Gambar 8.2 Sekelompok masyarakat Suriname memainkan gamelan, alat musik tradisional Jawa

Gambar 8.3 pagelaran wayang kulit
Seni dan budaya dari Jawa yang masih berkembang di Suriname seperti tari-tarian, kesenian Djaran Kepang (kuda lumping), Ludruk, Reog ataupun kabaret yakni semacam ludruk yang pemainnya semuanya laki-laki, termasuk untuk memerankan tokoh perempuan.
Lagu-lagu berbahasa Jawa, baik dari Indonesia maupun asli karya seniman-seniman musik Suriname masih berkembang di sana dan disukai kaum muda, meskipun mereka mengakui hanya sedikit-sedikit kemampuan berbahasa Jawa.
Gedung Sana Budaya, merupakan satu-satunya gedung kesenian di Suriname yang sering dimanfaatkan untuk mementaskan seni dan budaya Jawa seperti wayang orang, sendratari, ludruk maupun lagu-lagu berbahasa Jawa (campur sari), baik oleh penyanyi setempat diantaranya yang terkenal Edward Kasimun dan Maruf Amastam maupun dari Indonesia seperti Didi Kempot, Yan Velia, Mus Mulyadi, Verina dan lain-lain.
Orang Jawa yang tiba di Suriname tidak hanya membawa bahasa dan adat istiadat mereka ke negara yang baru, namun juga kebudayaan mereka. Penciptaan ulang ungkapan budaya seperti wayang dan gamelan, didukung oleh pemerintah kolonial dan pemilik perkebunan di Suriname. Pada tahun 1903 misalnya, perkebunan Mariënburg membeli perangkat gamelan yang pertama. Juga disediakan tempat untuk mengadakan pertunjukan gamelan dan wayang. Setelah tiba di negeri Belanda, orang Jawa tetap mementingkan dipertahankannya kebudayaan dan jati diri mereka. Selain banyak organisasi Jawa, juga banyak individu yang berusaha untuk mempertahankan kebudayaan Jawa Suriname dan menurunkannya kepada generasi berikut.


9.Sistem Religi
1) Upacara adat
Berikut sebagian rekaman gambar kehidupan masyarakat Jawa di Suriname. Foto yang dipamerkan di Erasmus Huis, Jakarta, sebagian adalah karya fotografer keturunan Suriname, Matt Soemopawiro

Gambar 9.1 Masyarakat Jawa di Suriname melakukan upacara Slametan. Slametan biasanya digelar pada saat kelahiran, sunatan, dan lain-lain.

Gambar 9.2 Upacara mitoni. Dilakukan pada saat kehamilan seorang perempuan mencapai usia 7 bulan.
2) Agama
Pada sensus  tahun 2007,  rasio antar-agama adalah sebagai berikut:
·         40,7% Kristen (Katolik Roma, Peerke Donders, Reformed, Protestan, Moravia)
·         19,9% Hindu
·         13,5% Islam
·         5,8% tradisional dan agama lainnya
·         4,4% tak beragama
·         15,7% tidak terdata
Data statistik sensus penduduk Suriname tahun 2007  menunjukkan bahwa Islam di Suriname mencapai 66,307 jiwa (13,5 % dari jumlah penduduk), menduduki peringkat ketiga setelah agama Kristen, 200,744 jiwa (40,7 %) dan Hindu, 98,240 jiwa (19,9 %). Dari seluruh umat Islam di Suriname, yang terbanyak berasal dari suku Jawa, 46,156 jiwa (69,6 %) dan yang lain dari Hindustan, 15,636 jiwa (23,6 %) dan suku-suku lain.
Pada mulanya secara umum masyarakat muslim Suriname memeluk agama sekedar mewarisi agama nenek moyang. Hal itu terjadi karena mereka memang datang ke Suriname tidak mendapatkan pendidikan agama yang kuat. Pada kasus masyarakat muslim Jawa umpamanya, kebanyakan mereka berasal dari tradisi agama Islam Jawa Abangan yang hanya mengenal Islam sekedar nama dan lebih kental dengan unsur tradisi dan budaya Jawa. Hal itu terlihat umpamanya, kenapa hingga sekarang sebagian masih mempertahankan shalat menghadap ke barat seperti nenek moyang mereka dari Jawa, padahal Suriname berada di sebelah barat Ka’bah.
Namun sejalan dengan perkembangan zaman, pemahaman Islam semakin membaik, dan kesadaran untuk beragama Islam secara kâffah (komprehensif) semakin meningkat, maka umat Islam Suriname semakin menunjukkan jati dirinya. Islam tidak lagi dijadikan sebagai agama warisan nenek moyang, tapi dipeluknya dengan seutuh kesadaran. Lambat laun Islam tidak saja dijadikan sebagai agama tradisi nenek moyang, tapi menjadi sebuah jalan kebenaran untuk mencapai kebahagian dunia dan akhirat. Fenomena seperti itu dapat dengan mudah kita temui di mana-mana, di kota dan kampung, di pasar dan jalan-jalan. Berbusana muslim / muslimah menjadi pemandangan yang biasa di tengah-tengah gempuran model busana Barat yang mengumbar aurat. Sahut menyahut ucapan salam simbol Islam (Assalâmu’alaikum warahmatullâhi wa barakâtuh) antara muslim Jawa dengan muslim Hindustan atau Creool, menjadi budaya mereka yang menggambarkan betapa suasana ukhuwwah dan silaturrahmi itu dibangun begitu indah. Bahkan tidak jarang persahabatan itu berlanjut dengan membangun hubungan keluarga dengan menikahnya muslim Jawa dengan muslimah Hindustan umpamanya.
Kondisi keberagamaan masyarakat muslim Suriname yang semakin tercerahkan itu bukan terjadi dengan sendirinya. Peran lembaga-lembaga organisasi sosial, yayasan dan masjid dalam melakukan perubahan sikap keberagamaan itu begitu besar. Berbagai kegiatan dilakukan dalam upaya menghidupkan api Islam di Suriname dari yang paling tradisional sampai yang paling modern, dari yang baru tahap mengajarkan membaca huruf-huruf Arab, hingga upaya pengenalan Islam melalui seminar dan simposium, radio, televisi dan internet. Dakwah bukan saja untuk umat Islam tapi juga meluas ke semua anak negeri. Geliat itu begitu terasa hingga pemeluk Islam bukan saja orang Jawa dan Hindustan, tapi juga satu persatu orang-orang Negro dan kulit putih pun mencintai Islam. Masjid masyarakat Creool yang terkenal adalah Masjid Shadaqatul Islam di kota Paramaribo.


10.Perubahan-Perubahan yang Terjadi

Jawa-Suriname di Masa Lampau
     
Gambar 10.1 Orang Jawa-Suriname di Masa Lampau

Jawa-Suriname Sekarang

       
Gambar 10.2 masyarakat jawa-suriname sekarang

Lokasi Orang jawa yang pindah ke luar negeri yang terbesar selain di malaysia adalah di suriname, sekarang hampir 30% penduduk suriname berasal dari jawa dan sudah ada partai yang mengkomodasi kepentingan orang jawa, yakni partai Percaya Luhur.
sekarang di suriname kemiskinan sangat berkurang dan sebagian besar masyarakatnya mulai menapaki jalan menuju kearah masyarakat makmur hal ini dapat di lihat dari penghidupan masyarakat. Dari masyarakat jawa sendiri telah ada enam menteri yakni yakni Menteri Perdagangan dan Industri, Micheal Miskin; Menteri Dalam Negeri, Soewarto Moestadja; Menteri Pertanian, Peternakan dan Perikanan, Hendrik Setrowidjojo; Menteri Tenaga Kerja, Pengembangan Teknologi dan Lingkungan Hidup, Ginmardo Kromosoeto, Menteri Pendidikan dan Pengembangan Masyarakat Raymond Sapoen serta Menteri Sosial dan Perumahan Rakyat Hendrik Sorat Setro Wijojo.
 Selain itu juga Kepala Kepolisian Suriname H Setrosentono serta mantan Ketua Parlemen Suriname Paul Salam Sumohardjo juga orang jawa.
Seperti yang diucapkan oleh menteri dalam negeri suriname bahwa setelah mereka mengunjungi Indonesia baru-baru ini mereka dapat sedikit berbangga karena melihat sebagian masyarakat jawa masih berperang melawan kemiskinan tetapi disuriname sudah mulai sedikit maju. Sekarang ini di suriname semua penduduk yang berusia 60 tahun keatas mendapatkan tunjugan sosial besarnya sekitar satu juta rupiah dimana uang segitu itu cukup untuk hidup di negeri suriname, mereka sekarang bangga dan tidak merasa minder lagi dengan indonesia.
Masyarakat Jawa dinegara Suriname kini banyak menjadi orang sukses menjadi pengusaha dengan membuka hotel,cafe,restoran,swalayan kemudian penyiar radio di radio suriname berbahasa jawa ,penyanyi bahkan pejabat negara sebagai menteri dikabinet Suriname. Suriname negara kecil di Amerika selatan dengan Parimaribo sebagai ibukota negara Suriname ternyata telah memberi masa depan dan harapan yang indah bagi masyarakat jawa yang telah lama menetap dinegara ini,meskipun pada awal kedatangan masyarakat jawa di Suriname penuh dengan perjuangan dan tantangan,namun memasuki 1 abad masyarakat jawa di Suriname keberadaan komunitas jawa ini menjadi momentum penting dalam menggapai masa depan .
Meskipun kebudayaan Jawa di negara yang multi etnis tersebut, terdiri dari suku Hindustan (India), Kreol dan Bushnegro (Afrika), Jawa (Indonesia), Amerindian, China dan etnis lainnya, itu masih berkembang namun bahasa Jawa justru sudah tidak lagi mendominasi percakapan sehari-hari.
Nama-nama orang meskipun masih menggunakan nama Jawa namun umumnya sudah digabung dengan nama-nama barat seperti Stanley Sidoel, Alfons Satropawiro, Bob Saridin, Hendrik Legiman, Kim Sontosoemarto ataupun Sharon Pawiroredjo.
Meskipun kebudayaan Jawa di negara yang multi etnis tersebut, terdiri dari suku Hindustan (India), Kreol dan Bushnegro (Afrika), Jawa (Indonesia), Amerindian, China dan etnis lainnya, itu masih berkembang namun bahasa Jawa justru sudah tidak lagi mendominasi percakapan sehari-hari.
 Budaya maupun masyarakat Jawa (keturunan) memang masih berkembang dan eksis di Suriname, namun demikian bukan lagi Jawa yang "njawani" sebaliknya telah berbaur dengan kultur dan etnis yang hidup di situ sehingga terlihat sebagai Jawa yang mengglobal.
Maka tak mengherankan jika mendengarkan lagu-lagu berbahasa Jawa di Suriname namun melodinya beriramakan musik regae ataupun pop manis bukan campur sari sebagaimana di Indonesia, karena terpengaruh kultur Karibia.




BAB III
PENUTUP
1.Kesimpulan
Orang Jawa yang tiba di Suriname tidak hanya membawa bahasa dan adat istiadat mereka ke negara yang baru, namun juga kebudayaan mereka. Penciptaan ulang ungkapan budaya seperti wayang dan gamelan, didukung oleh pemerintah kolonial dan pemilik perkebunan di Suriname. Pada tahun 1903 misalnya, perkebunan Mariënburg membeli perangkat gamelan yang pertama. Juga disediakan tempat untuk mengadakan pertunjukan gamelan dan wayang. Setelah tiba di negeri Belanda, orang Jawa tetap mementingkan dipertahankannya kebudayaan dan jati diri mereka. Selain banyak organisasi Jawa, juga banyak individu yang berusaha untuk mempertahankan kebudayaan Jawa Suriname dan menurunkannya kepada generasi berikut. Bagaimanapun mereka adalah saudara kita, bagian dari Indonesia yang tinggal nun jauh di negeri Amerika sana.
2.Saran
Suatu kebanggaan tersendiri bagi kita melihat saudara kita di Suriname yang masih memelihara adat-istiadat dan kebudayaan yang dibawa oleh nenek moyang mereka yang merupakan bagian dari masyarakat Indonesia, dan akan lebih baik apabila Pemerintah RI semakin memperbanyak kerjasama dengan saudara-saudara kita khususnya di Suriname yang kini masyarakatnya yakni etnis Jawa merupakan etnis dengan populasi terbanyak ketiga di Suriname.






DAFTAR PUSTAKA
http://www.deplu.go.id/_layouts/mobile/PortalDetail-NewsLike.aspx?l=id&ItemID=da0358d4-3d1c-4ebf-a7f7-a56f6ba7ac93
http://marimengenalsuriname.blogspot.com/
http://id.wikipedia.org/wiki/Suriname
http://id.wikipedia.org/wiki/Bahasa_Jawa_Suriname
https://www.facebook.com/permalink.php?id=178631095514766&story_fbid=555594374485101
http://sejarah.kompasiana.com/2011/05/19/suriname-sekarang-326612.html
http://harunarcom.blogspot.com/2012/01/budaya-jawa-subur-di-suriname.html
http://cabiklunik.blogspot.com/2010/10/kehidupan-migrasi-pecel-dan-teklek.html
http://selokartojaya.blogspot.com/2010/10/migrasi-pecel-dan-teklek.html
http://www.antaranews.com/berita/227895/menelusuri-jejak-saudara-di-suriname
http://www.jpnn.com/read/2012/08/30/138038/RI-Suriname-Jalin-Kerjasama-Pendidikan-
http://kemlu.go.id/Pages/News.aspx?IDP=6158&l=id
http://www.tembi.org/cover/2010-04/20100419.htm
http://kopiairhujan.wordpress.com/2011/01/10/suriname-negara-yg-memiliki-hub-darah-dgn-negara-indonesia/
http://sinarharapan.co/index.php/news/read/23626/bangga-menjadi-bagian-dari-indonesia-.html
http://www.w-islam.com/2013/05/995/perkembangan-islam-di-suriname/
http://kageri.blogdetik.com/2011/01/27/peradaban-jawa-di-suriname/
http://www.bungeko.com/2010/01/orang-belanda-kok-namanya-eko.html
http://www.javanenindiaspora.nl/pages/15?locale=id
http://kemlu.go.id/_layouts/mobile/PortalDetail-NewsLike.aspx?l=id&ItemID=685d2e40-3834-4435-9350-d57594a994a5
http://www.forestpeoples.org/fr/node/4575
http://spotunikdananeh.blogspot.com/2012/01/foto-kisah-orang-jawa-di-suriname.html

1 comment:

jadilah yang pertama memberi komentar :)