Wednesday, 12 March 2014

CIREBON (BAHASA DAN PERUBAHAN MASYARAKATNYA)

BAHASA
Bahasa yang dituturkan oleh orang Cirebon adalah gabungan dari Bahasa Jawa, Sunda, Arab dan China yang mereka sebut sebagai Bahasa Cirebon. Mereka juga memiliki dialek Bahasa Sunda tersendiri yang disebut Bahasa Sunda Cirebon.Dahulu Bahasa Cirebon ini digunakan dalam perdagangan di pesisir Jawa Barat mulai Cirebon yang merupakan salah satu pelabuhan utama, khususnya pada abad ke-15 sampai ke-17. Bahasa Cirebon dipengaruhi pula oleh budaya Sunda karena keberadaannya yang berbatasan langsung dengan wilayah kultural Sunda, khususnya Sunda Kuningan dan Sunda Majalengka dan juga dipengaruhi oleh Budaya China, Arab dan Eropa hal ini dibuktikan dengan adanya kata "Taocang (Kuncir)" yang merupakan serapan China, kata "Bakda (Setelah)" yang merupakan serapan Bahasa Arab dan kemudian kata "Sonder (Tanpa)"[3] yang merupakan serapan bahasa eropa (Belanda). Bahasa Cirebon mempertahankan bentuk-bentuk kuno bahasa Jawa seperti kalimat-kalimat dan pengucapan, misalnya ingsun (saya) dan sira (kamu) yang sudah tak digunakan lagi oleh bahasa Jawa Baku.
Perdebatan Bahasa Cirebon (Dialek Bahasa Jawa atau Bahasa Mandiri)
Perdebatan tentang Bahasa Cirebon sebagai Sebuah Bahasa yang Mandiri terlepas dari Bahasa Sunda dan Jawa telah menjadi perdebatan yang cukup Panjang, serta melibatkan faktor Politik Pemerintahan, Budaya serta Ilmu Kebahasaan.

Bahasa Cirebon Sebagai Sebuah Dialek Bahasa Jawa
Penelitian menggunakan kuesioner sebagai indikator pembanding kosakata anggota tubuh dan budaya dasar (makan, minum, dan sebagainya) berlandaskan metode Guiter menunjukkan perbedaan kosa kata bahasa Cirebon dengan bahasa Jawa di Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta mencapai 75 persen, sementara perbedaannya dengan dialek di Jawa Timur mencapai 76 persen. Untuk diakui sebagai sebuah bahasa tersendiri, suatu bahasa setidaknya membutuhkan sekitar 80% perbedaan dengan bahasa terdekatnya.
Meski kajian Linguistik sampai saat ini menyatakan bahasa Cirebon ”hanyalah” dialek (Karena Penelitian Guiter mengatakan harus berbeda sebanyak 80% dari Bahasa terdekatnya), namun sampai saat ini Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor 5 Tahun 2003 masih tetap mengakui Cirebon sebagai bahasa dan bukan sebagai sebuah dialek. Dengan kata lain, belum ada revisi terhadap perda tersebut. Menurut Kepala Balai Bahasa Bandung Muh. Abdul Khak, hal itu sah-sah saja karena perda adalah kajian politik. Dalam dunia kebahasaan menurut dia, satu bahasa bisa diakui atas dasar tiga hal. Pertama, bahasa atas dasar pengakuan oleh penuturnya, kedua atas dasar politik, dan ketiga atas dasar Linguistik.
Bahasa atas dasar politik, contoh lainnya bisa dilihat dari sejarah bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia yang sebenarnya berakar dari bahasa Melayu, seharusnya dinamakan bahasa Melayu dialek Indonesia. Namun, atas dasar kepentingan politik, akhirnya bahasa Melayu yang berkembang di negara Indonesia –oleh pemerintah Indonesia– dinamakan dan diklaim sebagai bahasa Indonesia. Selain alasan politik, pengakuan Cirebon sebagai bahasa juga bisa ditinjau dari batasan wilayah geografis dalam perda itu. Abdul Khak mengatakan, Cirebon disebut sebagai dialek jika dilihat secara nasional dengan melibatkan bahasa Jawa.
Artinya, ketika perda dibuat hanya dalam lingkup wilayah Jabar, Cirebon tidak memiliki pembanding kuat yaitu bahasa Jawa. Apalagi, dibandingkan dengan bahasa Melayu Betawi dan Sunda, Cirebon memang berbeda.
Bahasa Cirebon sebagai Bahasa Mandiri
Revisi Perda, sebenarnya memungkinkan dengan berbagai argumen linguistik. Namun, kepentingan terbesar yang dipertimbangkan dari sisi politik bisa jadi adalah penutur bahasa Cirebon, yang tidak mau disebut orang Jawa maupun orang Sunda. Ketua Lembaga Basa lan Sastra Cirebon Nurdin M. Noer mengatakan, bahasa Cirebon adalah persilangan bahasa Jawa dan Sunda. Meskipun dalam percakapan orang Cirebon masih bisa memahami sebagian bahasa Jawa, dia mengatakan kosakata bahasa Cirebon terus berkembang tidak hanya ”mengandalkan” kosa kata dari bahasa Jawa maupun Sunda.
”Selain itu, bahasa Cirebon sudah punya banyak dialek. Contohnya saja dialek Plered, Jaware, dan Dermayon,” ujarnya. Jika akan dilakukan revisi atas perda tadi, kemungkinan besar masyarakat bahasa Cirebon akan memprotes.
Pakar Linguistik Chaedar Al Wasilah pun menilai, dengan melihat kondisi penutur yang demikian kuat, revisi tidak harus dilakukan. justru yang perlu dilakukan adalah melindungi bahasa Cirebon dari kepunahan..

PERUBAHAN MASYARAKAT CIREBON
*ARTIKEL PENDUKUNG
CONTOH KASUS 1
Mang Mung Menyaksikan Cirebon
Sore itu langit begitu cerah, tidak menunjukan hujan dan tidak pula matahari menyengat. Mang Mung semakin mantap melangkahkan kakinya untuk membuka warung. Setelah sampai di depan Cirebon Superblock Mall, Dia segera menggelar daganganya di pinggir jalan. Aneka makanan disajikan, adapula sambal goreng khas Cirebonan, Dia saat itu menjajakan sarapan yang orang Cirebon mengenalnya dengan Sega Jamblang. Dengan kondisi Cirebon yang bersahabat, Dia berharap dagangannya laku. Itulah cerita Mang Mung 8 (delapan) tahun yang lalu.

Kondisi Mang Mung saat itu tidaklah sama dengan kondisi Mang Mung saat ini. Cirebon telah berubah, aromanya tak lagi ramah dengan masyarakat kecil seperti Mang Mung. Hanya butuh waktu 3 (tiga) tahun (dari 2010 sampai 2013), Cirebon berhasil menciptakan perubahan besar. Mall-mall, restoran siap saji dan hotel telah berdiri tegak di Kota dimana Mang Mung mempertaruhkan nasibnya. Hal itupun kemudian mulai mengganggu Mang Mung, jajanya tak seramai dulu, masakanya menjadi basi karena tak laku dan keluarga terbengkalai tak tentu arah.
Sore ini, ya sore dimana biasa Mang Mung bersiap untuk menggerakan roda ekonomi, terlihat begitu mendung. Namun Mang Mung tak pantang arah, dengan keyakinan “rezeky sudah di atur Allah”, Dia tetap berangkat untuk mencari nafkah. Dia memasang tendanya, mempersiapkan meja dan menaruh kursi tepat dihadapan hidangan yang Dia sajikan. Sesekali Dia mengipasi masakanya yang dikerumuni lalat, barulah 30 (tiga puluh menit) kemudian pengunjung datang. Legalah hati Mang Mung sore itu.
Baru satu jam Mang Mung telah berhasil melayani 3 (tiga) konsumen makananya. Luar biasa dan syukur Alhamdulillah terlihat dari wajahnya. Mang Mung sumringah karena semenjak perubahan besar, mendapatkan 3 (tiga) customer dalam jangka waktu satu jam sudahlah bagus. Akan tetapi ternyata masalah belumlah selesai, penurunan pengunjung hanya menjadi satu diantara begitu banyak masalah yang Mang Mung hadapi semenjak perubahan besar. Mang Mung sore itu pun kemudian gelisah, rintikan hujan mulai turun menutup ceria wajahnya. Dia semakin takut ketika petir mulai menyambar-nyambar dan hujan deras pun datang. Kedatangan hujan itu adalah mimpi buruk kedua yang dilahirkan oleh perubahan besar bagi Mang Mung.
Cirebon dulu, tentunya Cirebon yang dikenal oleh Mang Mung adalah Cirebon yang ramah. Hujanya pun justru membawa rezeky bagi Mang Mung karena banyak orang berteduh dan lapar mengunjungi tempat makannya. Tetapi Cirebon saat ini, yang datang menyapa Mang Mung tanpa salam, adalah Cirebon yang justru keras baginya. Hujanya tidak datang beriringan dengan pengunjung, akan tetapi hujanya datang diiringi banjir yang menyalip mata kaki hingga menyentuh dengkul. Itulah alasan mengapa Mang Mung kemudian saat ini murung menyaksikan hujan.
Cerita Mang Mung adalah cerita ilustrasi yang digambarkan sesuai dengan keadaan sosial yang saat ini dirasakan oleh masyarakat, utamanya masyarakat Cirebon. Cirebon memang telah berubah, telah banyak hal yang dicapai dan modernitas mulai menghampiri secara perlahan. Akan tetapi hukum utama dari perubahan itu selalu memiliki jawaban bahwasanya perubahan tidaklah hanya membuat kehidupan lebih baik, tetapi juga kadang (apabila tidak dikelola
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEi6qDnccwilDMqIwjHmQAdfOWK47j8t4w4j3giSqsIhNCWMU47lCJF11JqJzyg3G5u_slpJfvWXJ7aPwiT9qVT2yEA9eBCV3EVPiBY6kqoStXtJEJ0kQAKTKsTSmCw8rmzwdjqFmdW80DY/s400/banjir-cirebon-flyover-pegambiran.jpg
dengan baik) membuat kerusakan . Dan untuk mengetahui dampak perubahan, maka jawaban yang paling tulus hanya ada pada rakyat kecil atau masyarakat di luar lingkaran birokrasi.
Baru-baru ini, dengan bantuan informasi yang lebih cepat, Saya mendengar beberapa ocehankawan melalui twitter yang mengatakan “CIREBON BANJIR”. Ungkapan yang dibatasi oleh 140 karakter itu bukanlah hal baru yang saya dengar, karena setahun bahkan dua tahun sebelumnya saya pun mendengar kata-kata itu. Perbedaanya, dulu saya belum berada di Cirebon dan saat ini setelah menyelesaikan studi , Saya lebih sering di Cirebon. Untuk membuktikan kalimat tahunan itu, maka Saya menyempatkan diri untuk menengoknya lebih dekat, Saya mengunjungi titik-titik banjir di Cirebon. Ternyata, yang membuat Saya terkejut adalah, ungkapan itu benar adanya, Cirebon banjir !!
Bukan ingin mengumpat atau mungkin mencaci maki tetapi Saya hanya hendak mengatakan apa yang Nabi Muhammad SAW katakan. Nabi bersabda bahwa ada dua tipe manusia. Manusia yang pertama menurut nabi adalah manusia yang beruntung. Siapakah manusia beruntung itu? Dia adalah manusia yang hari ini lebih baik dari hari kemarin. Sementara itu nabi melanjutkan, bahwa ada pula manusia yang merugi, yaitu manusia yang hari ini lebih buruk dari hari kemarin. Dan bila dilihat dari kenyataan satu dan dua tahun sebelumnya, artinya Cirebon termasuk kategori yang Nabi sebut dengan merugi.
Bila membaca artikel Bagus Purnama dalam blognya, maka arti dari pembangunan ataudevelopment adalah serangkaian upaya atau langkah untuk memajukan kondisi masyarakat sebuah kawasan atau negara, dengan konsep pembangunan tertentu.  Dilihat secara arti maka ditemukan suatu benang merah dari tujuan pembangunan, yaitu memajukan kondisi, memperbaiki kondisi, dari hal yang buruk menuju kearah yang lebih baik. Oleh karena itu, apabila ada sebuah pembangunan yang kemudian menimbulkan efek negatif maka itu bukan “pembangunan” tetapi perusakan.
Masyarakat dan tentu pula Saya, seringkali terjebak pada kata-kata pembangunan ini. Setelah terjebak, Saya kemudian pun mengamini  bahwa gedung-gedung yang berdiri tegak itu adalah sebuah pembangunan. Kita seolah merasa bahwa pembangunan itu adalah pendirian gedung-gedung tinggi, rumah yang kemudian berdiri dan hotel yang dengan jelas bentuk tingkatnya. Nyatanya, pembangunan bukanlah seremeh itu, pembangunan haruslah memiliki efek dan tujuan perbaikan terhadap keadaan sebelumnya.
Cirebon saat ini, mungkin adalah Cirebon seperti dimana Saya dulu belum begitu mengenal arti dari pembangunan. Oleh karena itu tidak heran apabila bentuk fisik menjadi berhala dari apa yang disebut dengan pembangunan. Oleh karenanya kesejahteraan dan kebaikan bersama yang justru menjadi tulang punggung pembangunan kemudian diabaikan. Oleh sebab itu pula, kebanjiran dan pedagang pinggiran yang kalah saing tidak dinilai sebagai kegagalan pembangunan. Justru gedung yang belum rampunglah yang disebut dengan kegagalan pembangunan. Bisa jadi ini pun menjadi alasan mengapa kebanjiran tidak kunjung ditanggulangi.
Kenyataan ini bisa kita lihat dari apa yang dialami oleh Mang Mung diatas. Tatapanya yang sayu mengenai Cirebon dan harapanya yang terhenti karena kesalahkaprahan pembangunan. Ini adalah suatu ironi, suatu kenyataan yang mencekam, mengingat keberlanjutan bencana banjir tidak ditanggulangi dengan baik. Perlu berapa banyak Mang Mung yang harus hadir di Cirebon agar Pemerintah Kota Cirebon membuka kamus mencari arti dari pembangunan. Maka tidak heran pula, tulisan dengan kritik yang tidak pedas ini seolah mengatakan bahwa “Mang Mung menyaksikan Cirebon”. Ya mangmung yang dalam pemahaman masyarakat Cirebon berarti bingung.

*ARTIKEL PENDUKUNG
CONTOH KASUS 2

TRADISI KLIWONAN DI BATANG
https://encrypted-tbn2.gstatic.com/images?q=tbn:ANd9GcSA4nwQFosmOQp4DhKR4RF6RI2SkNgBhjZ3KtkcNi7kWAZcUQp3Kg   http://4.bp.blogspot.com/-BWY9bN1MMn0/UQZzYtp5WZI/AAAAAAAAABc/PwgMAblNdSs/s1600/img_0233-copy.jpg
A. Pelaksanaan Tradisi Kliwonan
Masyarakat Jawa merupakan masyarakat yang heterogen, demikian halnya dengan kebudayaan atau tradisi yang dimilikinya. Banyak ritual dan tradisi yang merupakan warisan dari nenek moyang yang masih tetap dilestarikan sampai sekarang. Salah satu ritual yang masih banyak dilakukan masyarakat Jawa, khususnya bagi mereka yang beragama Islam adalah tradisi kliwonan. Tradisi tersebut mencakup hari Kamis wage, malam Jumat kliwon, serta hari Jumat kliwon itu sendiri. Pada hari Kamis wage (sore), banyak digunakan orang untuk berziarah ke makam anggota keluarga atau leluhurnya untuk nyekar (menabur bunga di makam) dan membaca doa.
Sedangkan pada malam harinya (malam Jumat kliwon), kalangan tetua mengadakan acara nyepi baik dilakukan di rumah kediaman atau ke tempat-tempat yang dianggap keramat, bertuah, hening, dan mengandung kekuatan gaib. Menurut R. Soerjanto Sastroatmodjo dalam majalah Kompak (2001:14), baik acara nyekar dan nyepi merupakan acara ritual bagi kalangan masyarakat Jawa yang masih memegang tradisi, serta mempunyai makna tersendiri. Tradisi Jumat kliwon atau kliwonan di Batang yang terjadi setiap 35 hari sekali atau selapan dina menurut perhitungan Jawa, bagi masyarakat Batang mempunyai makna yang berbeda dengan ritual Jumat kliwon pada umumnya. Di Batang malam Jumat kliwon justru digunakan sebagai malam yang spesial bagi para pedagang untuk menggelar barang dagangannya di areal alun-alun dengan harga “miring”, sehingga tidak heran apabila Jumat kliwon atau yang dikenal dengan istilah kliwonan menjadi agenda wajib yang harus dikunjungi.
Menurut bapak Basuki Soenarjo yang merupakan mantan pegawai Dinas Pariwisata Kabupaten Batang, kliwonan merupakan tradisi yang telah berjalan lama, bahkan sebelum Indonesia merdeka. Pada awalnya tradisi kliwonan lebih berupa ritual ngluar kaul yang dilakukan seseorang, yakni suatu janji tertentu apabila seseorang bebas dari marabahaya, penyakit ataupun tercapainya suatu cita-cita seseorang. Ritual tersebut dilakukan di alun-alun dengan cara membuang pakaian bekas yang masih pantas pakai disertai uang logam sejumlah tertentu, membuat jadah pasar (sesaji dari aneka makanan yang dibeli dari pasar) untuk diberikan kepada pengunjung, yang kemudian diteruskan dengan acara berguling-guling di alun-alun, serta diakhiri dengan membasuh muka di masjid Jami’ (masjid di sebelah barat alun-alun).
1. Gambaran Pedagang di Kliwonan
Pedagang yang berada di pasar kliwonan merupakan salah satu subjek dalam penelitian ini. Para pedagang yang berjualan di pasar kliwonan setiap bulannya relatif tetap karena mereka sudah mempunyai tempat tetap untuk berjualan, khususnya para pedagang yang tergolong besar.
2. Pola-Pola Sosial yang Timbul Akibat Tradisi Kliwonan
Ada beberapa jenis interaksi sosial yang terjadi pada saat kliwonan, antara lain interaksi antara pengunjung dengan pedagang, interaksi antara pengunjung dengan pengunjung, dan interaksi antar pedagang itu sendiri. Ketiga bentuk interaksi tersebut telah mencakup interaksi antar individu dengan individu, individu dengan kelompok, serta kelompok dengan kelompok.
3. Masalah-Masalah Sosial yang Timbul Akibat Tradisi Kliwonan
Kliwonan menimbulkan dampak negatif khususnya terhadap kebersihan lingkungan di sekitar alun-alun yang merupakan tempat diselenggarakannya acara kliwonan. Tradisi kliwonan merupakan kegiatan yang menyerupai pasar malam atau pasar tiban, dimana banyak terdapat penjual yang menjajakan beraneka ragam mulai dari makanan sampai barang-barang keperluan rumah tangga. Dan seperti gambaran pasar pada umumnya, keadaannya tidak akan jauh dari sampah yang berserakan dimana-mana dan tentu saja akan mengakibatkan lingkungan sekitar menjadi kotor.
Selain dampak terhadap kebersihan, pasar kliwonan juga berdampak terhadap kelancaran arus lalu lintas. Hal tersebut disebabkan karena letak alun-alun yang merupakan tempat diselenggarakannya kegiatan kliwonan tepat di tepi jalan raya pantura.
Banyaknya para pedagang yang menjajakan barang dagangannya sampai ke tepi jalan raya, serta para pengunjung yang hilir mudik menyebrang jalan semakin menambah arus lalu lintas menjadi semakin terhambat.
B. Tradisi Kliwonan
  Menurut Selo Soemardjan dalam Soerjono Soekanto (2002:305) perubahan sosial budaya merupakan segala perubahan pada lembaga-lembaga kemasyarakatan didalam suatu masyarakat yang mempengaruhi system sosialnya, termasuk didalamnya nilai-nilai, sikap, dan pola perilaku diantara kelompok-kelompok masyarakat.
Masyarakat yang kebudayaannya diwarnai oleh tradisionalisme, apabila harus memecahkan suatu masalah didalam hidupnya maka dia akan cenderung berorientasi pada masa lampau. Tradisi menjadi pedoman untuk mengatur tata hidupnya didalam keluarga, masyarakat, dalam hubungannya dengan pemerintah, dan dalam hubungannya dengan pemerintah serta dalam hubungannya dengan orang-orang lain dari luar masyarakatnya. Dengan berpegang pada tradisi maka masyarakat dapat mengatur kehidupannya dengan mantap dan kuat sehingga kehidupan itu menjadi stabil. Tradisi tersebut akan menjadi bertambah kuat karena masyarakat percaya mengandung restu dari para leluhurnya, baik yang masih hidup maupun yang sudah meninggal.
Oleh karena itu tradisi sukar sekali untuk diubah atau diganti dengan unsur-unsur kebudayaan yang lain. Akan tetapi, pada kenyataannya ada unsurunsur tradisi yang tidak dapat dipertahankan apabila masyarakat hendak membangun ekonominya sesuai dengan dalil-dalil ekonomi modern.
Tradisi Jumat kliwon atau kliwonan dilaksanakan setiap 35 hari sekali atau selapan dina menurut perhitungan Jawa bagi masyarakat Batang memiliki makna yang berbeda dengan ritual Jumat kliwon pada umumnya karena digunakan sebagai malam yang spesial bagi para pedagang untuk menggelar barang dagangannya di alun-alun Kota Batang dengan harga yang lebih murah. Uniknya, ratusan pedagang tersebut sebagian besar justru berasal dari luar Batang seperti dari daerah Tegal, Pemalang, Cirebon, Semarang, Bandungan, Solo, dan masih banyak lagi. Pada mulanya penyelenggaraan kliwonan berjalan secara tradisional akan tetapi dengan semakin banyaknya jumlah pedagang serta pengunjung yang datang maka dibutuhkan campur tangan Pemerintah Kabupatenuntuk mengelola dan mengatur penyelenggaraan kliwonan.
Tradisi kliwonan mengalami perubahan baik dari segi fungsi maupun bentuknya seiring dengan perubahan dan perkembangan yang terjadi dalam masyarakat itu sendiri. Tradisi kliwonan yang pada mulanya merupakan sebuah upacara tradisional yang sarat akan nuansa spiritual kini telah berubah fungsi menjadi sebuah kegiatan yang lebih bersifat rasional dan material. Kliwonan sekarang identik dengan sebuah pasar malam atau pasar murah.

Tradisi kliwonan di Kabupaten Batang merupakan salah satu contoh bentuk tradisi yang masih berkembang di masyarakat. Dalam pelaksanaannya, kliwonan sangat terkait dengan budaya yang berlaku di Kabupaten Batang karena kliwonan yang terjadi sekarang ini merupakan hasil pergeseran fungsi utama dari tradisi kliwonan. Pada awalnya tradisi ini lebih menitik beratkan pada unsur religi yang berlaku di masyarakat. Sedangkan pada perkembangannya pelaksanaan tradisi ini lebih menitik beratkan pada unsure ekonomi yang dijadikan sumber mata pencaharian bagi masyarakat. Dan perubahan tersebut berpengaruh terhadap beberapa aspek sosial dan ekonomi serta fenomena-fenomena sosial yang ada di dalamnya.


1 comment:

jadilah yang pertama memberi komentar :)