BAHASA
Bahasa yang dituturkan oleh
orang Cirebon adalah gabungan dari Bahasa Jawa, Sunda, Arab dan China yang mereka sebut sebagai Bahasa Cirebon. Mereka juga memiliki dialek Bahasa Sunda
tersendiri yang disebut Bahasa Sunda Cirebon.Dahulu Bahasa Cirebon ini
digunakan dalam perdagangan di pesisir Jawa Barat mulai Cirebon yang merupakan
salah satu pelabuhan utama, khususnya pada abad ke-15 sampai ke-17. Bahasa Cirebon
dipengaruhi pula oleh budaya Sunda karena keberadaannya yang berbatasan
langsung dengan wilayah kultural Sunda, khususnya Sunda Kuningan dan Sunda
Majalengka dan juga dipengaruhi oleh Budaya China, Arab dan Eropa hal ini
dibuktikan dengan adanya kata "Taocang (Kuncir)" yang merupakan
serapan China, kata "Bakda (Setelah)" yang merupakan serapan Bahasa
Arab dan kemudian kata "Sonder (Tanpa)"[3] yang
merupakan serapan bahasa eropa (Belanda). Bahasa Cirebon mempertahankan
bentuk-bentuk kuno bahasa Jawa seperti
kalimat-kalimat dan pengucapan, misalnya ingsun (saya) dan sira (kamu) yang
sudah tak digunakan lagi oleh bahasa Jawa Baku.
Perdebatan
Bahasa Cirebon (Dialek
Bahasa Jawa atau Bahasa Mandiri)
Perdebatan tentang Bahasa
Cirebon sebagai Sebuah Bahasa yang Mandiri terlepas dari Bahasa Sunda dan Jawa
telah menjadi perdebatan yang cukup Panjang, serta melibatkan faktor Politik
Pemerintahan, Budaya serta Ilmu Kebahasaan.
Bahasa
Cirebon Sebagai Sebuah Dialek Bahasa Jawa
Penelitian menggunakan
kuesioner sebagai indikator pembanding kosakata anggota tubuh dan budaya dasar
(makan, minum, dan sebagainya) berlandaskan metode Guiter menunjukkan perbedaan
kosa kata bahasa Cirebon dengan bahasa Jawa di Jawa Tengah dan Daerah Istimewa
Yogyakarta mencapai 75 persen, sementara perbedaannya dengan dialek di Jawa
Timur mencapai 76 persen. Untuk
diakui sebagai sebuah bahasa tersendiri, suatu bahasa setidaknya membutuhkan
sekitar 80% perbedaan dengan bahasa terdekatnya.
Meski kajian Linguistik sampai saat ini menyatakan bahasa
Cirebon ”hanyalah” dialek (Karena Penelitian Guiter mengatakan harus berbeda
sebanyak 80% dari Bahasa terdekatnya), namun sampai saat ini Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor 5
Tahun 2003 masih
tetap mengakui Cirebon sebagai bahasa dan bukan sebagai sebuah dialek. Dengan
kata lain, belum ada revisi terhadap perda tersebut. Menurut Kepala Balai
Bahasa Bandung Muh. Abdul Khak, hal itu sah-sah saja karena perda adalah kajian
politik. Dalam dunia kebahasaan menurut dia, satu bahasa bisa diakui atas dasar
tiga hal. Pertama, bahasa atas dasar pengakuan oleh penuturnya, kedua atas
dasar politik, dan ketiga atas dasar Linguistik.
Bahasa atas dasar politik,
contoh lainnya bisa dilihat dari sejarah bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia
yang sebenarnya berakar dari bahasa Melayu, seharusnya dinamakan bahasa Melayu
dialek Indonesia. Namun, atas dasar kepentingan politik, akhirnya bahasa Melayu
yang berkembang di negara Indonesia –oleh pemerintah Indonesia– dinamakan dan
diklaim sebagai bahasa Indonesia. Selain alasan politik, pengakuan Cirebon
sebagai bahasa juga bisa ditinjau dari batasan wilayah geografis dalam perda
itu. Abdul Khak mengatakan, Cirebon disebut sebagai dialek jika dilihat secara
nasional dengan melibatkan bahasa Jawa.
Artinya, ketika perda dibuat
hanya dalam lingkup wilayah Jabar, Cirebon tidak memiliki pembanding kuat yaitu
bahasa Jawa. Apalagi, dibandingkan dengan bahasa Melayu Betawi dan Sunda,
Cirebon memang berbeda.
Bahasa Cirebon sebagai Bahasa Mandiri
Revisi Perda, sebenarnya
memungkinkan dengan berbagai argumen linguistik. Namun, kepentingan terbesar
yang dipertimbangkan dari sisi politik bisa jadi adalah penutur bahasa Cirebon,
yang tidak mau disebut orang Jawa maupun orang Sunda. Ketua Lembaga Basa lan Sastra Cirebon Nurdin M. Noer
mengatakan, bahasa Cirebon adalah persilangan bahasa Jawa dan Sunda. Meskipun
dalam percakapan orang Cirebon masih bisa memahami sebagian bahasa Jawa, dia
mengatakan kosakata bahasa Cirebon terus berkembang tidak hanya ”mengandalkan”
kosa kata dari bahasa Jawa maupun Sunda.
”Selain itu, bahasa Cirebon sudah punya banyak dialek.
Contohnya saja dialek Plered, Jaware, dan Dermayon,” ujarnya. Jika akan
dilakukan revisi atas perda tadi, kemungkinan besar masyarakat bahasa Cirebon
akan memprotes.
Pakar Linguistik Chaedar Al
Wasilah pun menilai, dengan melihat kondisi penutur yang demikian kuat, revisi
tidak harus dilakukan. justru yang perlu dilakukan adalah melindungi bahasa
Cirebon dari kepunahan..
PERUBAHAN MASYARAKAT CIREBON
*ARTIKEL PENDUKUNG
CONTOH
KASUS 1
Mang
Mung Menyaksikan Cirebon
Sore
itu langit begitu cerah, tidak menunjukan hujan dan tidak pula matahari
menyengat. Mang Mung semakin mantap melangkahkan kakinya untuk membuka warung.
Setelah sampai di depan Cirebon Superblock Mall, Dia segera menggelar
daganganya di pinggir jalan. Aneka makanan disajikan, adapula sambal goreng
khas Cirebonan, Dia saat itu menjajakan sarapan yang orang Cirebon mengenalnya
dengan Sega Jamblang. Dengan kondisi Cirebon yang bersahabat,
Dia berharap dagangannya laku. Itulah cerita Mang Mung 8 (delapan) tahun yang
lalu.
Kondisi
Mang Mung saat itu tidaklah sama dengan kondisi Mang Mung saat ini. Cirebon
telah berubah, aromanya tak lagi ramah dengan masyarakat kecil seperti Mang
Mung. Hanya butuh waktu 3 (tiga) tahun (dari 2010 sampai 2013), Cirebon berhasil
menciptakan perubahan besar. Mall-mall, restoran siap saji dan hotel telah
berdiri tegak di Kota dimana Mang Mung mempertaruhkan nasibnya. Hal itupun
kemudian mulai mengganggu Mang Mung, jajanya tak seramai dulu, masakanya
menjadi basi karena tak laku dan keluarga terbengkalai tak tentu arah.
Sore
ini, ya sore dimana biasa Mang Mung bersiap untuk menggerakan roda ekonomi,
terlihat begitu mendung. Namun Mang Mung tak pantang arah, dengan keyakinan
“rezeky sudah di atur Allah”, Dia tetap berangkat untuk mencari nafkah. Dia
memasang tendanya, mempersiapkan meja dan menaruh kursi tepat dihadapan
hidangan yang Dia sajikan. Sesekali Dia mengipasi masakanya yang dikerumuni
lalat, barulah 30 (tiga puluh menit) kemudian pengunjung datang. Legalah hati
Mang Mung sore itu.
Baru
satu jam Mang Mung telah berhasil melayani 3 (tiga) konsumen makananya. Luar
biasa dan syukur Alhamdulillah terlihat dari wajahnya. Mang Mung sumringah
karena semenjak perubahan besar, mendapatkan 3 (tiga) customer dalam
jangka waktu satu jam sudahlah bagus. Akan tetapi ternyata masalah belumlah
selesai, penurunan pengunjung hanya menjadi satu diantara begitu banyak masalah
yang Mang Mung hadapi semenjak perubahan besar. Mang Mung sore itu pun kemudian
gelisah, rintikan hujan mulai turun menutup ceria wajahnya. Dia semakin takut
ketika petir mulai menyambar-nyambar dan hujan deras pun datang. Kedatangan
hujan itu adalah mimpi buruk kedua yang dilahirkan oleh perubahan besar bagi
Mang Mung.
Cirebon
dulu, tentunya Cirebon yang dikenal oleh Mang Mung adalah Cirebon yang ramah.
Hujanya pun justru membawa rezeky bagi Mang Mung karena banyak orang berteduh
dan lapar mengunjungi tempat makannya. Tetapi Cirebon saat ini, yang datang
menyapa Mang Mung tanpa salam, adalah Cirebon yang justru keras baginya.
Hujanya tidak datang beriringan dengan pengunjung, akan tetapi hujanya datang
diiringi banjir yang menyalip mata kaki hingga menyentuh dengkul. Itulah alasan
mengapa Mang Mung kemudian saat ini murung menyaksikan hujan.
Cerita
Mang Mung adalah cerita ilustrasi yang digambarkan sesuai dengan keadaan sosial
yang saat ini dirasakan oleh masyarakat, utamanya masyarakat Cirebon. Cirebon
memang telah berubah, telah banyak hal yang dicapai dan modernitas mulai
menghampiri secara perlahan. Akan tetapi hukum utama dari perubahan itu selalu
memiliki jawaban bahwasanya perubahan tidaklah hanya membuat kehidupan lebih
baik, tetapi juga kadang (apabila tidak dikelola
dengan
baik) membuat kerusakan . Dan untuk mengetahui dampak perubahan, maka jawaban
yang paling tulus hanya ada pada rakyat kecil atau masyarakat di luar lingkaran
birokrasi.
Baru-baru
ini, dengan bantuan informasi yang lebih cepat, Saya mendengar beberapa ocehankawan
melalui twitter yang mengatakan “CIREBON BANJIR”. Ungkapan yang dibatasi oleh
140 karakter itu bukanlah hal baru yang saya dengar, karena setahun bahkan dua
tahun sebelumnya saya pun mendengar kata-kata itu. Perbedaanya, dulu saya belum
berada di Cirebon dan saat ini setelah menyelesaikan studi , Saya lebih sering
di Cirebon. Untuk membuktikan kalimat tahunan itu, maka Saya menyempatkan diri
untuk menengoknya lebih dekat, Saya mengunjungi titik-titik banjir di Cirebon.
Ternyata, yang membuat Saya terkejut adalah, ungkapan itu benar adanya, Cirebon
banjir !!
Bukan
ingin mengumpat atau mungkin mencaci maki tetapi Saya hanya hendak mengatakan
apa yang Nabi Muhammad SAW katakan. Nabi bersabda bahwa ada dua tipe manusia.
Manusia yang pertama menurut nabi adalah manusia yang beruntung. Siapakah
manusia beruntung itu? Dia adalah manusia yang hari ini lebih baik dari hari
kemarin. Sementara itu nabi melanjutkan, bahwa ada pula manusia yang merugi,
yaitu manusia yang hari ini lebih buruk dari hari kemarin. Dan bila dilihat
dari kenyataan satu dan dua tahun sebelumnya, artinya Cirebon termasuk kategori
yang Nabi sebut dengan merugi.
Bila
membaca artikel Bagus Purnama dalam blognya, maka arti dari pembangunan ataudevelopment adalah
serangkaian upaya atau langkah untuk memajukan kondisi masyarakat sebuah
kawasan atau negara, dengan konsep pembangunan tertentu. Dilihat
secara arti maka ditemukan suatu benang merah dari tujuan pembangunan, yaitu
memajukan kondisi, memperbaiki kondisi, dari hal yang buruk menuju kearah yang
lebih baik. Oleh karena itu, apabila ada sebuah pembangunan yang kemudian
menimbulkan efek negatif maka itu bukan “pembangunan” tetapi perusakan.
Masyarakat
dan tentu pula Saya, seringkali terjebak pada kata-kata pembangunan ini.
Setelah terjebak, Saya kemudian pun mengamini bahwa gedung-gedung
yang berdiri tegak itu adalah sebuah pembangunan. Kita seolah merasa bahwa
pembangunan itu adalah pendirian gedung-gedung tinggi, rumah yang kemudian
berdiri dan hotel yang dengan jelas bentuk tingkatnya. Nyatanya, pembangunan
bukanlah seremeh itu, pembangunan haruslah memiliki efek dan tujuan perbaikan terhadap
keadaan sebelumnya.
Cirebon saat ini, mungkin adalah Cirebon
seperti dimana Saya dulu belum begitu mengenal arti dari pembangunan. Oleh
karena itu tidak heran apabila bentuk fisik menjadi berhala dari apa yang
disebut dengan pembangunan.
Oleh karenanya kesejahteraan dan kebaikan bersama yang justru menjadi tulang
punggung pembangunan kemudian diabaikan. Oleh sebab itu pula, kebanjiran dan
pedagang pinggiran yang kalah saing tidak dinilai sebagai kegagalan
pembangunan. Justru gedung yang belum rampunglah yang disebut dengan kegagalan
pembangunan. Bisa jadi ini pun menjadi alasan mengapa kebanjiran tidak kunjung
ditanggulangi.
Kenyataan
ini bisa kita lihat dari apa yang dialami oleh Mang Mung diatas. Tatapanya yang
sayu mengenai Cirebon dan harapanya yang terhenti karena kesalahkaprahan
pembangunan. Ini adalah suatu ironi, suatu kenyataan yang mencekam, mengingat
keberlanjutan bencana banjir tidak ditanggulangi dengan baik. Perlu berapa
banyak Mang Mung yang harus hadir di Cirebon agar Pemerintah Kota Cirebon
membuka kamus mencari arti dari pembangunan. Maka tidak heran pula, tulisan
dengan kritik yang tidak pedas ini seolah mengatakan bahwa “Mang Mung
menyaksikan Cirebon”. Ya mangmung yang dalam pemahaman
masyarakat Cirebon berarti bingung.
*ARTIKEL PENDUKUNG
Dikutip dari : http://linzda.blogspot.com/
CONTOH
KASUS 2
TRADISI KLIWONAN DI BATANG


A. Pelaksanaan Tradisi Kliwonan
Masyarakat Jawa merupakan masyarakat yang heterogen,
demikian halnya dengan kebudayaan atau tradisi yang dimilikinya. Banyak ritual
dan tradisi yang merupakan warisan dari nenek moyang yang masih tetap
dilestarikan sampai sekarang. Salah satu ritual yang masih banyak dilakukan
masyarakat Jawa, khususnya bagi mereka yang beragama Islam adalah tradisi
kliwonan. Tradisi tersebut mencakup hari Kamis wage, malam Jumat kliwon, serta
hari Jumat kliwon itu sendiri. Pada hari Kamis wage (sore), banyak digunakan
orang untuk berziarah ke makam anggota keluarga atau leluhurnya untuk nyekar
(menabur bunga di makam) dan membaca doa.
Sedangkan pada malam harinya (malam Jumat kliwon), kalangan
tetua mengadakan acara nyepi baik dilakukan di rumah kediaman atau ke
tempat-tempat yang dianggap keramat, bertuah, hening, dan mengandung kekuatan
gaib. Menurut R. Soerjanto Sastroatmodjo dalam majalah Kompak (2001:14), baik
acara nyekar dan nyepi merupakan acara ritual bagi kalangan masyarakat Jawa
yang masih memegang tradisi, serta mempunyai makna tersendiri. Tradisi Jumat
kliwon atau kliwonan di Batang yang terjadi setiap 35 hari sekali atau selapan
dina menurut perhitungan Jawa, bagi masyarakat Batang mempunyai makna yang
berbeda dengan ritual Jumat kliwon pada umumnya. Di Batang malam Jumat kliwon
justru digunakan sebagai malam yang spesial bagi para pedagang untuk menggelar
barang dagangannya di areal alun-alun dengan harga “miring”, sehingga tidak
heran apabila Jumat kliwon atau yang dikenal dengan istilah kliwonan menjadi
agenda wajib yang harus dikunjungi.
Menurut bapak Basuki Soenarjo yang merupakan mantan pegawai
Dinas Pariwisata Kabupaten Batang, kliwonan merupakan tradisi yang telah
berjalan lama, bahkan sebelum Indonesia merdeka. Pada awalnya tradisi kliwonan
lebih berupa ritual ngluar kaul yang dilakukan seseorang, yakni suatu janji
tertentu apabila seseorang bebas dari marabahaya, penyakit ataupun tercapainya
suatu cita-cita seseorang. Ritual tersebut dilakukan di alun-alun dengan cara
membuang pakaian bekas yang masih pantas pakai disertai uang logam sejumlah
tertentu, membuat jadah pasar (sesaji dari aneka makanan yang dibeli dari
pasar) untuk diberikan kepada pengunjung, yang kemudian diteruskan dengan acara
berguling-guling di alun-alun, serta diakhiri dengan membasuh muka di masjid
Jami’ (masjid di sebelah barat alun-alun).
1. Gambaran Pedagang di Kliwonan
Pedagang yang berada di pasar kliwonan merupakan salah satu
subjek dalam penelitian ini. Para pedagang yang berjualan di pasar kliwonan
setiap bulannya relatif tetap karena mereka sudah mempunyai tempat tetap untuk
berjualan, khususnya para pedagang yang tergolong besar.
2. Pola-Pola Sosial yang Timbul Akibat Tradisi Kliwonan
Ada beberapa jenis interaksi sosial yang terjadi pada saat
kliwonan, antara lain interaksi antara pengunjung dengan pedagang, interaksi
antara pengunjung dengan pengunjung, dan interaksi antar pedagang itu sendiri.
Ketiga bentuk interaksi tersebut telah mencakup interaksi antar individu dengan
individu, individu dengan kelompok, serta kelompok dengan kelompok.
3. Masalah-Masalah Sosial yang Timbul Akibat Tradisi
Kliwonan
Kliwonan menimbulkan dampak negatif khususnya terhadap
kebersihan lingkungan di sekitar alun-alun yang merupakan tempat
diselenggarakannya acara kliwonan. Tradisi kliwonan merupakan kegiatan yang
menyerupai pasar malam atau pasar tiban, dimana banyak terdapat penjual yang
menjajakan beraneka ragam mulai dari makanan sampai barang-barang keperluan
rumah tangga. Dan seperti gambaran pasar pada umumnya, keadaannya tidak akan
jauh dari sampah yang berserakan dimana-mana dan tentu saja akan mengakibatkan
lingkungan sekitar menjadi kotor.
Selain dampak terhadap kebersihan, pasar kliwonan juga
berdampak terhadap kelancaran arus lalu lintas. Hal tersebut disebabkan karena
letak alun-alun yang merupakan tempat diselenggarakannya kegiatan kliwonan
tepat di tepi jalan raya pantura.
Banyaknya para pedagang yang menjajakan barang dagangannya
sampai ke tepi jalan raya, serta para pengunjung yang hilir mudik menyebrang
jalan semakin menambah arus lalu lintas menjadi semakin terhambat.
B. Tradisi Kliwonan
Menurut Selo Soemardjan
dalam Soerjono Soekanto (2002:305) perubahan sosial budaya merupakan segala
perubahan pada lembaga-lembaga kemasyarakatan didalam suatu masyarakat yang
mempengaruhi system sosialnya, termasuk didalamnya nilai-nilai, sikap, dan pola
perilaku diantara kelompok-kelompok masyarakat.
Masyarakat yang kebudayaannya diwarnai oleh tradisionalisme,
apabila harus memecahkan suatu masalah didalam hidupnya maka dia akan cenderung
berorientasi pada masa lampau. Tradisi menjadi pedoman untuk mengatur tata
hidupnya didalam keluarga, masyarakat, dalam hubungannya dengan pemerintah, dan
dalam hubungannya dengan pemerintah serta dalam hubungannya dengan orang-orang
lain dari luar masyarakatnya. Dengan berpegang pada tradisi maka masyarakat
dapat mengatur kehidupannya dengan mantap dan kuat sehingga kehidupan itu
menjadi stabil. Tradisi tersebut akan menjadi bertambah kuat karena masyarakat
percaya mengandung restu dari para leluhurnya, baik yang masih hidup maupun
yang sudah meninggal.
Oleh karena itu tradisi sukar sekali untuk diubah atau
diganti dengan unsur-unsur kebudayaan yang lain. Akan tetapi, pada kenyataannya
ada unsurunsur tradisi yang tidak dapat dipertahankan apabila masyarakat hendak
membangun ekonominya sesuai dengan dalil-dalil ekonomi modern.
Tradisi Jumat kliwon atau kliwonan dilaksanakan setiap 35
hari sekali atau selapan dina menurut perhitungan Jawa bagi masyarakat Batang
memiliki makna yang berbeda dengan ritual Jumat kliwon pada umumnya karena
digunakan sebagai malam yang spesial bagi para pedagang untuk menggelar barang
dagangannya di alun-alun Kota Batang dengan harga yang lebih murah. Uniknya,
ratusan pedagang tersebut sebagian besar justru berasal dari luar Batang
seperti dari daerah Tegal, Pemalang, Cirebon, Semarang, Bandungan, Solo, dan masih
banyak lagi. Pada mulanya penyelenggaraan kliwonan berjalan secara tradisional
akan tetapi dengan semakin banyaknya jumlah pedagang serta pengunjung yang
datang maka dibutuhkan campur tangan Pemerintah Kabupatenuntuk mengelola dan
mengatur penyelenggaraan kliwonan.
Tradisi
kliwonan mengalami perubahan baik dari segi fungsi maupun bentuknya seiring
dengan perubahan dan perkembangan yang terjadi dalam masyarakat itu sendiri.
Tradisi kliwonan yang pada mulanya merupakan sebuah upacara tradisional yang sarat
akan nuansa spiritual kini telah berubah fungsi menjadi sebuah kegiatan yang
lebih bersifat rasional dan material. Kliwonan sekarang identik dengan sebuah
pasar malam atau pasar murah.
Tradisi kliwonan di Kabupaten Batang merupakan salah satu contoh bentuk tradisi yang masih berkembang di masyarakat. Dalam pelaksanaannya, kliwonan sangat terkait dengan budaya yang berlaku di Kabupaten Batang karena kliwonan yang terjadi sekarang ini merupakan hasil pergeseran fungsi utama dari tradisi kliwonan. Pada awalnya tradisi ini lebih menitik beratkan pada unsur religi yang berlaku di masyarakat. Sedangkan pada perkembangannya pelaksanaan tradisi ini lebih menitik beratkan pada unsure ekonomi yang dijadikan sumber mata pencaharian bagi masyarakat. Dan perubahan tersebut berpengaruh terhadap beberapa aspek sosial dan ekonomi serta fenomena-fenomena sosial yang ada di dalamnya.
lengkap pisan penjelasan tentang bahasa cirebone
ReplyDelete