Monday, 2 June 2014

Desa Kaputihan Cirebon

Catatan : Ini merupakan tugas laporan Kuliah Lapangan Mahasiswa pendidikan Sosiologi UPI ke Desa Keputihan Cirebon pada tanggal 17 Mei 2014



BAB I
PENDAHULUAN
A.                 Latar Belakang

Indonesia adalah negara yang mempunyai keanekaragaman budaya di setiap daerahnya masing- masing satu budaya memiliki keunikan tersendiri sehingga berbeda dengan budaya lainnya. Di sisi lain masyarakat Indonesia juga tetap menjaga, merawat dan melestarikan kebudayaan serta kearifan lokal yang mereka miliki sehingga corak masyarakat cultural Indonesia tidak begitu saja luntur tergerus zaman.
Tidak dapat dipungkiri bahwa pesatnya ilmu pengetahuan dan teknologi maju, tentu akan menyebabkan nilai-nilai tradisi mulai terdesak dengan tidak lagi mendarah daging di dalam kehidupan masyarakat saat ini, namun berbeda dengan masyarak yang kami temui di Desa Keputihan Cirebon yang tetap memegang teguh nilai-nilai tradisi leluhurnya.
    B.    Rumusan Masalah
1.      Bagaimana Asal usul daerah dan masyarakat yang ada di Desa Keputihan ?
2.      Bagaimana Kependudukan dan Mata pencaharian yang ada di Desa Keputihan ?
3.      Apa saja Organisasi yang terdapat di Desa Keputihan ?
4.      Bagaimana proses Adat istiadat dan Kebudayaan yang ada di Desa Keputihan ?
5.      Apa saja Sistem religi dan Kepercayaan yang terdapat di Desa Keputihan ?
6.      Bagaiman Kearifan lokal masyarakat di Desa Keputihan ?
7.      Bagaimana Upaya-upaya pelestarian terhadap kearifan lokal di Desa Keputihan ?
   C.    Tujuan
1.      Untuk menjelaskan Asal usul daerah dan Masyarakat Desa Keputihan
2.      Untuk memjelaskan Kependudukan dan Mata pencaharian Desa Keputihan
3.      Untuk menjelaskan mengenai Organisasi Sosial Desa Keputihan
4.      Untuk menjelaskan Adat istiadat dan Kebudayaan Desa Keputihan
5.      Untuk menjelaskan Sistem religi dan Kepercayaan Desa Keputihan
6.      Untuk menjelaskan tentang Kearifan Lokal Masyarakat Desa Keputihan
7.      Untuk menjelaskan Upaya – upaya pelestarian terhadap kearifan lokal masyarakat Desa Keputihan

     D. Manfaat
Adapun manfaat-manfaat yang kami peroleh dari penelitian, yaitu :
1.      Manfaat yang kami peroleh dari Kuliah Kerja Lapangan ini adalah kami mendapat pengalaman langsung untuk mengetahui bagaimanakah adat istadat dan kearifan lokal masyarakat yang ada di Desa Keputihan Cirebon, serta
2.     Dapat melihat secara langsung  serta lebih memahami bagaimana cara masyarakat bertahan dan mempertahankan kearifan lokal daerahnya ditengah arus globalisasi yang kuat seperti saat ini.

BAB II
ASAL-USUL DAERAH DAN MASYARAKAT

Menurut penuturan  Abah Idam seorang  narasumber  yang kami wawancara langsung di Desa Keputihan,  Sejarah keberadaan desa ini dimulai pada abad ke 14 atau sekitar tahun 1400 dimana pada awalnya desa ini ditempati oleh orang-orang yang dianggap suci, mereka ini adalah para penganut agama hindu dan budha dimana mereka adalah orang-orang dengan tingkatan melebihi biksu dan biksuni. Bila diibaratkan dalam islam orang-orang yang dianggap suci ini setingkat dengan para wali Allah.
Kemudian di tahun 1420 seorang bernama Syekh Idhofi Mahdi  yang berasal dari Baghdad  datang dan menetap di Gunung Jati  di Gunung Jati ini beliau memiliki banyak murid yang ingin berguru ajaran agama islam kepadanya diantara muridnya yaitu Pangeran Pangjunan, Pangeran Kejaksan, Syekh Syarif. Oleh karena itu Syekh idhofi Mahdi terkenal dengan sebutan Penataagaa panambangan.
Dari sinilah agama islam berkembang pesat di tanah Jawa khususnya di Cirebon, Akan tetapi dibalik kemajuan agama islam ini Raja Padjajaran yaitu Prabu Siliwangi yang notabene beragama Hindu merasa tidak senang dengan kemajuan agama islam islam dan tidak menghendaki islam menyebar di tanah jawa. Namun walaupun demikian, salah satu diantara ketiga anaknya  dari Nyimas  Subang Ranjang yaitu Pangeran Walangsungsang  mempelajari islam dan berguru kepada Syekh Idhofi Mahdi yang berada di Gunung Jati. Selain itu anak keduanya yaitu Nyimas Rara Santang bersuamikan seorang Mesir bernama Maulana Abdullah. Yang kemudian dari pernikahan ini lahir Syarif Hidayatullah atau yang kita kenal sekarang ini Sunan Gunung Jati.
Suatu hari Prabu Siliwangi merencanakan penyerangan ke daerah dimana anaknya yaitu Pangeran Walangsungsang (mbah kuwu cirebon) dan putunya yaitu Sunan Gunung Jati mempelajari dan mengembangkan islam, tapi pada akhirnya Prabu Siliwangi memberitahukan hal ini kepada anak dan putunya dan menyuruh mereka pergi ke desa Keputihan yang saat itu masih ditempati oleh golongan orang-orang suci yang beragama Hindu dengan syarat mereka harus memasuki desa itu dengan etika dan sopan santun tanpa kekerasan.
Tiba di desa Keputihan mereka disambut oleh Pucuk Umun yang merupakan seorang pimpinan dikalangan orang-orang yang dianggap suci itu sekaligus orang yang menghormati Prabu Siliwangi sebagai Rajanya, menyambut  Mbah Kuwu Cirebon dan Sunan Gunung Jati yang datang dengan damai dan namun dibalik itu tanpa sepengetahuannya  mereka tetap memyebarkan islam dengan taktik dan strategi yang cerdas melalui kebudayaan yang mereka bawa yaitu lewat kesenian wayang, dimana orang yang ingin melihat pertunjukan wayang ini diharuskan membayar dengan mengucapkan dua kalimat syahadat.
Maka jadilah semakin hari islam semakin kuat dan banyak penganutnya di tanah Jawa khususnya di Cirebon Pucuk Umun yang tak ingin berpindah agam pun keluar dari Desa Keputihan bersama orang-orangnya dengan damai dan atas nama mengalah karena tidak ingin melakukan peperangan dengan Anak serta cucu dari raja“sesembahannya” yaitu Prabu Siliwangi.
 Maka Pucuk Umun pun pergi ke Banten namun sebelum pergi ia berpesan agar nama Desa Keputihan tidak diganti sebagai tanda bahwa golongan orange-orang yang dianggap suci pernah menempati desa itu dan yang kedua ia berpesan untuk tidak mengganti bahan-bahan bangunan dan merenovasi rumah-rumah yang ada di Desa Keputihan. Inilah sekilas mengenai asal usul serta kepercayaan turun temurun yang dianggap keramat oleh penduduk desa Keputihan. 

BAB III
KEPENDUDUKAN DAN MATA PENCAHARIAN
Daerah Keputihan termasuk Desa Karang Sari, karena pemekaran Desa Karang Sari berubah  nama menjadi Desa Kerta Sari. Luas Desa Keputihan sendiri seluas 2 hektar pada abad 14. Jumlah rumah pada awal terbentuknya Desa Keptuhian ada 17,  atap rumah terbuat dari pelit (tebu). Banyak yang bertanya mengapa rumah di Desa Keputihan hanya terdapat 17 rumah, Karena dulu siasat mbaku cirebon dibalik angka 17 ada suatu misteri yang kuat yaitu Shalat 5 watu yang jumlah  keseluruhan rakaatnya berjumlah 17 jadi ada kaitnanyya sam jumlah yang 17 tersebut. Di Desa Keputihan sama dengan desa lainnya, mempunyai RT dan RW, tidak ada pengistimewaan untuk desa keputihan, dalam hal ini hanya saja Desa Keputihan penduduknya saudara semua.
Kondisi saat ini jumlah rumah yang tadinya 17 menjadi 14 rumah, karena banyak penduduk yang meninggalkan Desa Keputihan, faktor utama penyebab berkurangnya jumlah rumah, karena di desa keputihan sendiri tidak ada paksaan untuk menetap dan keluar dari ada desa Keputihan. Kebanyakan yang meninggalakn desa keputihan adalah anak yang sudah menikah diberi pilihan mau tetap menjadi bagian dari kampung adat atau keluar, lebih banyak yang meilih keluar karena, rumah dari desa keputihan sendiri tidak dapat dirubah bentuknya, itu merupakan amanat dari sesepuh. Mereka banyak yang keluar dan meninggalkan rumah dan membuat rumah diluar kampung adat, itu sebabnya jumlah rumah menjadi berkuang
Jumlah penduduk desa sekarang ada dua puluh enak kepala keluarga, biasanya satu rumah dihuni oleh dua sampai tiga kepala keluarga. Mayoritas penduduk desa keputihan orang pribumi asli tidak ada pendatang.     
Jenjang pendidikan merupakan penopang yang kuat untuk mnedapatkan pekerjaan yang lebih baik tetapi dalam masyarakat adat Keputihan sumber daya manusianya hanya mengenyam pendidikan di jenjang tertinggi hanya sampai SMA.. Dari pihak laki-laki menganyam hasilnya berupa abaka, rotan, kursi. Pendistribusian hasil anyam tersebut biasanya ke perusahaan. Sedangkan yang menegnyam jenjang pendidikan yang tinggi masuk keperusahaan swasta yg sdm nya sekiranya mencukupi. “Di desa Keputihan tidak monoton biasanya orang yang basicnya berani dan mempunyai kelebihan sering melakukan ngesup” penjelasan dari Pak Arif Sudarsono. Ngesup sendiri diartikan mengambil barang dari perusahaan dan diselesaikan dirumah lalu dikemablikan lagi ke perusahaan. Pendisitribusian barangnya tidak dilakukan sendir tetapi kita menegmablikan lagi ke perusahaan dan perusahaan tersebut yang melakukan distribusi.  


BAB IV
Organisasi Sosial
A. Definisi Organisasi Sosial
Organisasi sosial adalah perkumpulan sosial yang dibentuk oleh masyarakat, baik yang berbadan hukum maupun yang tidak berbadan hukum, yang berfungsi sebagai sarana partisipasi masyarakat dalam pembangunan bangsa dan negara. Sebagai makhluk yang selalu hidup bersama-sama, manusiamembentuk organisasi sosial untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu yang tidak dapat mereka capai sendiri.

Lembaga sosial merupakan tata cara yang telah diciptakan untuk mengatur hubungan antar manusia dalam sebuah wadah yang disebut dengan Asosiasi. Lembaga dengan Asosiasi memiliki hubungan yang sangat erat. Namun memiliki pengartian yang berbeda. Lembaga yangg tidak mempunyai anggota tetap mempunyai pengikut dalam suatu kelompok yang disebut asosiasi. Asosiasi merupakan perwujudan dari lembaga sosial. Asosiasi memiliki seperangkat aturan, tatatertib, anggota dan tujuan yang jelas. Dengan kata lain Asosiasi memiliki wujud kongkret, sementara Lembaga berwujud abstrak.
B. Ciri-Ciri Organisasi Sosial
1.    Rumusan batas-batas operasionalnya(organisasi) jelas. Seperti yang telah dibicarakan diatas, organisasi akan mengutamakan pencapaian tujuan-tujuan berdasarkan keputusan yang telah disepakati bersama. Dalam hal ini, kegiatan operasional sebuah organisasi dibatasi oleh ketetapan yang mengikat berdasarkan kepentingan bersama, sekaligus memenuhi aspirasi anggotanya.
2.    Memiliki identitas yang jelas. Organisasi akan cepat diakui oleh masyarakat sekelilingnya apabila memiliki identitas yang jelas. Identitas berkaitan dengan informasi mengenai organisasi, tujuan pembentukan organisasi, maupun tempat organisasi itu berdiri, dan lain sebagainya.
3.    Keanggotaan formal, status dan peran. Pada setiap anggotanya memiliki peran serta tugas masing masing sesuai dengan batasan yang telah disepakati bersama.
Organisasi Sosial Masyarakat Keputihan Cirebon
Organisasi sosial yang terdapat di masyarakat kaputihan Cirebon hanya lah Rukun Tetangga (RT) saja.








BAB V
ADAT ISTIADAT DAN KEBUDAYAAN
Adat Istiadat yang masih berlaku di Kampung Keputihan Desa kertasari , Cirebon yaitu memelihara larangan - larangan seperti rumah tidak boleh menggunakan tembok , jendela tidak boleh memakai kaca , atap hanya digunakan dengan memakai dedaunan seperti daun tebu atau daun kelapa  . Dan adat istiadat ini memiliki aturan yang mengikat .
Kemudian apabila masyarakat keputihan melanggar aturan dari adat - istiadat leluhur dianggap akan mendapatkan karma seperti terkena penyakit yang tidak bisa disembuhkan dan sulit mendapatkan rejeki . Hal ini dibuktikan dengan suatu peristiwa yaitu beberapa tahun lalu dimana pernah ada warga pendatang membangun atap dari genting dan tak lama sesudah itu salah satu dari keluarganya sakit dan meninggal dunia.
Tetapi dengan adanya perkembangan zaman , masyarakat kampung keputihan kini telah menggunakan atap dari seng atau abses namun ada beberapa yang masih menggunakan atap dari daun kelapa , hal itu disebabkan karena sulitnya mencari daun kelapa . Namun , harus memiliki izin dari leluhur di kampung keputihan .
Untuk kamar mandi sendiri, warga kampung keputihan membangun kamar mandinya di luar rumah dan masih menggunakan sumur kerek dengan timba dan ember untuk mengambil air. Kamar mandinya pun terbilang sangat sederhana dan sedikit terbuka yang hanya ditutupi dengan penutup seadanya setinggi pusar orang dewasa hingga jika mandi haruslah sambil berjongkok. Sumur-sumur ini pun tak jarang merupakan sumur bersama yang artinya jika ingin mandi maka harus bergilir dengan tetangga, pun begitu dengan perawatannya seperti menguras sumur tiap bila sumber air mulai menyusut atau air mulai sedikit keruh maka para tetangga yang merasa ikut mandi di sumur tersebut akan saling bergotong royong melakukannya.
Selain itu , jumlah rumah warga di kampung keputihan menjadi berkurang dikarenakan banyak warga yang pindah ke tempat lain agar dapat membangun rumah yang memakai atap dari genting dan ada juga warga yang tidak bertahan hidup dikarenakan aturan adat istiadat dari leluhur .
Dan kebudayaan di kampung keputihan masih sangat dijaga dan dipelihara oleh masyarakat kampung keputihan .
Artikel pendukung

Tradisi Unik Di Keputihan

http://portalcirebon.blogspot.com/2010/04/tradisi-unik-diKeputihan.html

Diakses 18/05/2014 16:33
Di tengah kemajuan Kabupaten Cirebon, sekelompok masyarakat setempat masih tetap mempertahankan tradisi leluhur. Mereka tinggal di dusun Keputihan desa Kertasari Kecamatan Weru, dengan wilayah seluas 4 hektare. Di sana tinggal sebanyak 23 KK. Selain bertani, mereka juga menjadi perajut net dan pengrajin rotan.
Tradisi leluhur yang masih dipertahankan warga adalah tidak mau membangun rumah dengan menggunakan bahan yang mengandung unsur tanah, seperti genteng dan batu-bata. Salah seorang warga, mbah Samiaji menuturkan, hal itu berarti penghuni rumah hidup di bawah atau dikelilingi tanah. Sedangkan warga berkeyakinan bahwa hanya orang yang telah meninggal saja yang hidup di dalam tanah. Dengan demikian seluruh rumah di wilayah tersebut, menggunakan atap daun dan dinding dari anyaman bambu.
Aturan ini bersifat mengikat, termasuk bagi pendatang. Asmuni warga desa Karangsari yang menetap di sana setelah menikahi warga setempat, merasa tidak masalah untuk mengikuti tradisi tersebut. Kemudian istrinya Rohmah menceritakan, beberapa tahun lalu pernah ada warga pendatang yang berani membangun rumah dengan menggunakan atap genting, dan tak lama sesudah itu, salah seorang anggota keluarganya menderita sakit hingga akhirnya meninggal dunia.
Kondisi ini tentu saja membuat warga takut untuk melanggar aturan tersebut. Kedua anak Asmuni juga tidak merasa terasing, bahkan tidak ada masalah bermain dengan teman – teman sebayanya, yang bukan warga Keputihan. Salah seorang putranya, Nurohman (11 tahun) justru merasa lebih kerasan tinggal di dalam rumahnya yang sederhana, daripada tinggal di rumah keluarga ayahnya di Karangsari, meskipun lebih permanen.
Suasana kekeluargaan juga terasa kental antara warga yang masih memegang tradisi dengan sebagian besar warga lainnya di dusun keputihan.
Satu - satunya warga yang berani menentang tradisi setempat adalah Pak Sarmun. Meski istrinya meninggal dunia setahun setelah membangun rumah permanen di dusun keputihan, namun ia yakin dan percaya bahwa musibah datang semata-mata karena takdir Allah SWT, bukan karena tradisi yang dipegang sebagian warga di Keputihan. Sedikit pun ia tak percaya, jika kematian sang istri akibat kutukan atau memiliki kaitan dengan tradisi yang dipegang tetangga sekitar.
Di luar konteks kepercayaan tersebut, sebenarnya warga tidak sepenuhnya menolak modernisasi, terbukti beberapa diantaranya menyimpan radio dan televisi serta mempunyai kendaraan bermotor roda dua.
Konon nama Keputihan berasal dari kejadian aneh beberapa ratus tahun silam. Di tengah dusun ada sebuah sumur tua yang digunakan warga, untuk keperluan sehari – hari. Dari dasar sumur muncul tanah putih sebesar lingkaran payung. Air sumur yang awalnya berwarna coklat dan kehitam-hitaman, lalu berubah menjadi jernih. Sejak saat itulah, dusun tersebut dinamakan Keputihan.
Menurut Budayawan Cirebon, Ki Kartani, tradisi masyarakat di dusun Keputihan harus tetap dilestarikan sebagai salah satu khasanah budaya bangsa. Dengan catatan tidak menjadikan tradisi tersebut sebagai agama. Bahkan dapat menjadi objek wisata yang menarik, karena keunikan masyarakat dan tradisinya. Tapi tentunya membutuhkan partisipasi semua pihak, terutama pemerintah setempat.
diakses 18/05/2014 16:33
Jika di Tasikmalaya ada Kampung Naga yang merupakan perkampungan adat yang masih begitu menjunjung tinggi nilai-nilai budaya leluhurnya maka di Cirebon pun ada perkampungan yang kurang lebih memiliki kesaman dengan kampung tersebut yakni di Dusun Keputihan yang terletak di sebelah utara kota Sumber, tepatnya di Desa Kertasari Kecamatan Weru, Kabupaten Cirebon. Nama Keputihan sendiri konon berasal dari kejadian aneh di masa lampau. Di tengah dusun itu terdapat sebuah sumur tua yang secara tiba-tiba dari dalamnya menyembul segumpal tanah berwarna putih susu sebesar setengah lingkar sumur tersebut. Tanah yang semula hitam layaknya warna Lumpur menjadi berwarna putih itu membuat warga gempar. Sejak kejadian itulah nama dusun ini dinamakan dusun Keputihan.
Mata pencaharian sebagian warga dusun yang hanya terdiri dari 12 rumah ini sendiri adalah buruh tani dan sebagian lainnya menjadi buruh menganyam kursi rotan di desa tetangga yaitu di sentra kerajinan rotan di desa Sindang Wangi Plumbon. Sebagai sampingan penghasilan, kaum perempuannya bekerja juga sebagai pembuat net voli atau tenis. Pekerjaan tersebut dilakukan di rumah dengan upah Rp 2.000-Rp 6.000 per satu net.
Yang menarik dari dusun ini adalah tentang keteguhan mereka untuk menjaga warisan budaya leluhurnya. Bukti-bukti tradisi leluhur yang paling mencolok dan begitu kukuh tak tergoyahkan oleh perubahan zaman adalah salah satunya bangunan rumah warganya yang masih begitu tradisional yakni hanya memakai gedeg bambu (bilah-bilah bambu yang di anyam hingga membentuk pagar rapat), beratapkan atap yang terbuat dari welit yaitu daun tebu kering yang disusun sedemikian rupa dan dijepit dengan bilah bambu di tiap ujungnya, dan lantai yang dibiarkan tak berplester apalagi berkeramik. Di beberapa bagian rumah seperti untuk ruang tamu hanya dialasi dengan terpal dan sama sekali tak ada perabotan seperti sofa dan lainnya. Para tamu dipersilahkan untuk duduk lesehan layaknya orang Jepang, atau pada amben (bale dari bambu yang dipipihkan) di beranda rumah.
Untuk kamar mandi sendiri, warga dusun keputihan membangun kamar mandinya di luar rumah dan masih menggunakan sumur kerek dengan timba dan ember untuk mengambil air. Kamar mandinya pun terbilang sangat sederhana dan sedikit terbuka yang hanya ditutupi dengan penutup seadanya setinggi pusar orang dewasa hingga jika mandi haruslah sambil berjongkok. Sumur-sumur ini pun tak jarang merupakan sumur bersama yang artinya jika ingin mandi maka harus bergilir dengan tetangga, pun begitu dengan perawatannya seperti menguras sumur tiap bila sumber air mulai menyusut atau air mulai sedikit keruh maka para tetangga yang merasa ikut mandi di sumur tersebut akan saling bergotong royong melakukannya.
Ya, gotong royong, sebuah kearifan lokal yang tercatum dalam butir ppancasila itu memang masih begitu mengakar di kalangan warga dusun Keputihan ini. Setiap ada warga yang membutuhkan tenaga banyak orang seperti membangun rumah, hajatan, kendurian dan sebagainya maka para tetangga tidak akan segan-segan ikut membantu tanpa mengharapkan imbalan apa pun. Menyenangkan bukan gaya hidup seperti itu?

Perihal atap rumah yang sama sekali tak menggunakan genteng itu warga Dusun Keputihan punya cerita tersendiri. Seperti yang dituturkan salah satu warga bahwa genteng merupakan barang haram di dusun ini karena konon sejak dulu tiap kali ada warga Dusun Keputihan yang menggunakan genteng sebagai atap rumahnya maka orang tersebut dipastikan akan terkena mala seperti selalu sakit-sakitan dan bahkan meninggal mendadak. Warga sendiri tak tahu persis bagaimana awalnya hal itu bisa terjadi dan apa penyebabnya, hanya saja karena korban yang berjatuhan tiap rumahnya beratapkan genteng tidak hanya menimpa pada satu atau dua warga maka warga Dusun Keputihan ini kemudian percaya bahwa rumah di dusun ini tak boleh menggunakan genteng sebagai atapnya.
Karena masih memegang teguh warisan leluhurnya ini, warga Dusun Keputihan tiap bulannya menyelenggarakan selametan yang dipimpin oleh tetua kampung tersebut yang bertujuan untuk mengusir roh jahat yang menghinggapi kampung tersebut sekaligus meminta perlindungan keselamatan dan keberkahan kepada sang pencipta.
Jika Anda ingin menikmati suasana pedesan yang masih begitu kental dengan budaya leluhur maka Dusun Keputihan harus masuk ke dalam agenda tempat wajib kunjung. Dusun ini sangat cocok untuk melepas penat setelah sekian lama disibukkan oleh berbagai pekerjaan yang menuntut. Tenang saja, meski dusun ini masuk ke dalam wilayah Cirebon yang terkenal panas tapi dusun ini begitu sejuk dengan pepohonan yang tinggi dan dikelilingi oleh sawah dan ladang yang menyejukkan mata.

Tak Boleh Ada Genting di Dusun Keputihan

http://portalcirebon.blogspot.com/2010/05/tak-boleh -ada -genting-di-dusun-keputihan.html

diakses 18/05/2014 16:33
Terlatak sebelah utara Sumber, ibu kota Kabupaten Cirebon, nama Dusun Keputihan di Desa Kertasari, Kecamatan Weru, Kabupaten Cirebon, tampaknya masih belum dikenal banyak orang. Namanya masih terkalahkan oleh Kampung Naga di Tasikmalaya. Padahal dua kampung beda kabupaten tersebut sama-sama masih memegang tradisi leluhur.
Tradisi yang paling kasat mata adalah bangunan rumah para warganya. Meski saat ini jumlahnya tinggal sedikit, semua bangunan rumah di Dusun Keputihan benar-benar tradisional. Beratapkan daun tebu yang disusun sedemikian rupa supaya bisa melindungi penghuninya dari terik matahari dan guyuran hujan lebat, dinding rumah juga tidak menggunakan batu bata.
Warga memilih anyaman bambu sebagai dinding rumah mereka. Rumah pun dibiarkan hanya berlantaikan tanah, bukan ubin dari keramik dan sebagainya. Kamar mandi mereka buat di luar rumah. Itu pun masih tradisional, yakni dengan dilengkapi gerekan.
“Kami memang hidup seperti ini sejak dulu. Tapi sekitar dua tahun terakhir ini sudah mulai sedikit berubah, misalnya atap tidak lagi pakai daun tebu, tapi sudah ada yang pakai asbes,” ujar Sukaeti (30) saat ditemui di rumahnya, Senin (8/3) siang.
Warga, kata Eti, demikian ibu dua anak itu biasa disapa, terpaksa menggunakan asbes karena sulitnya memperoleh daun tebu sebagai bahan baku atap. “Hanya tinggal dua rumah saja yang pakai atap daun tebu. Maklum sekarang kebun tebu semakin sedikit. Jadinya ya terbatas,” kata Eti.
Mengapa tidak menggunakan genting dari tanah liat? Warga lain, Juriah (35), menuturkan, genting termasuk ke dalam benda yang tidak boleh digunakan oleh warga Dusun Keputihan. Meski umumnya warga tidak tahu apa penyebabnya, berdasarkan pengalaman yang sudah-sudah, warga yang rumahnya memakai genting tanah selalu terkena sakit atau meninggal tiba-tiba.
“Melihat kejadian itu, warga pada takut jika harus menggunakan genting,” kata Juriah.
Rumah warga di Dusun Keputihan memang tinggal sedikit. Jumlahnya hanya ada 12 rumah. Setiap rumah diisi oleh satu sampai dua keluarga. Seperti di rumah milik Suti (60). Bersama dua anak, satu menantu, dan dua cucu laki-laki, Suti menempati rumah kecil yang masih menganut tradisi leluhur.
“Atapnya memang masih pakai daun tebu. Ini sengaja karena selain tradisi juga pakai atap tebu lebih nyaman,” ujar Suti.
Atap rumahnya itu hasil olah tangannya sendiri. Setiap kali musim panen tebu, dia memanfaatkan daunnya untuk dibuatkan atap. Daun-daun tebu tersebut disusun sedemikian rupa dengan bantuan bambu sepanjang 1,5 meter.
Menurut Suti, atap daun tebu tergolong tahan lama. Bisa bertahan sampai umur dua tahun. Setelah itu, barulah diganti. “Lumayan, Nok,” katanya.
Rumah Suti betul-betul masih sangat tradisional. Di dalamnya masih berlantaikan tanah. Memiliki dua kamar tidur yang dilengkapi ranjang, ruang tamu cukup dialasi oleh terpal. Para tamu hanya dipersilakan duduk di bawah, atau jika mau, cukup duduk di atas amben (tempat duduk dari bambu yang dipipihkan) di luar rumah.
Karena masih  memegang tradisi leluhur, setiap bulan di Dusun Keputihan selalu digelar selamatan. Dipimpin oleh seseorang yang dianggap tetua dusun, selamatan bertujuan untuk menghilangkan roh jahat serta mengharapkan keberkahan pada dusun tersebut.
Nama Keputihan, menurut warga, berasal dari kejadian aneh beberapa ratus tahun silam. Di tengah dusun tersebut, terdapat sebuah sumur tua. Secara tiba-tiba muncul tanah putih sebesar lingkaran payung. Tanah tersebut berwarna putih, padahal sebelumnya berwarna biasa, yakni cokelat kehitaman. Sejak saat itulah, dusun tersebut dinamai Dusun Keputihan.
Sebagian besar warga Keputihan berprofesi sebagai buruh tani. Mereka menjadi buruh di dusun tetangga, tapi ada pula yang hanya menggarap kebun milik sendiri. Sebagai sampingan, kaum perempuannya bekerja juga sebagai pembuat net voli atau tenis. Pekerjaan tersebut dilakukan di rumah dengan upah Rp 2.000-Rp 6.000 per satu net.
Kaum lelaki yang tergolong masih muda banyak yang menjadi buruh pembuat kursi dari anyaman rotan. Mereka berburuh di desa tetangga di daerah Plumbon.
Meski masih memegang tradisi leluhur, warga Keputihan masih peduli pada pendidikan. Anak-anak mereka sekolahkan walau hanya tamat SD atau SMP. “Kebetulan sekolah dekat. Tinggal jalan kaki atau naik sepeda,” kata Rohmah (30).
Dusun Keputihan berada di daerah yang sejuk. Dikelilingi hamparan sawah serta kebun, rumah-rumah warga juga berada di antara pohon-pohon tinggi. Tak heran jika pengunjung akan betah berada di sana, seperti saat Tribun berkunjung Senin lalu, suasana sejuk menyelimuti. Kondisi itu jauh berbeda dengan Cirebon pada umumnya, yang memang bercuaca panas.




BAB VII
KEARIFAN LOKAL DESA ADAT KEPUTIHAN CIREBON
Kearifan lokal di desa adat keputihan ini memiliki sebuah keunikan dari desa-desa adat yang lainnya. Di dalam suatu kesatuan masyarakat disana, mereka masih mempertahankan kebudayaan yang diwarisi oleh para leluhurnya. Masyarakat disana sangat berpegang teguh dalam melestarikan dan merawat apa yang di warisi oleh para sesepuhnya yang terdahulu.
Warisan para leluhur yang diwariskan kepada masyarakat keputihan sekarang itu, yaitu berupa stuktur bangunan rumah yang sekarang mereka tempati. Dan suatu ciri khas yang menjadi pembeda dengan bangunan desa adat yang lain. Bangunan rumah tersebut jika kita gambarkan memiliki atap tidak menggunakan genting ataun asbes, tetapi dalam bangunan atap rumah tersebut menggunakan daun tebu. Dan daun tebu tersebut hasil dari anyaman dari tangan-tangan masyarakat desa keputihan. Mereka memanfaatkan daun tebu ketika panen tebu dan daripada daun tebu tersebut dibuang, mereka mempunyai daya kreatif dan memanfaatkannya sebagai pengganti genting. Ketika mereka pasangkan kedalam rumah tersebut, mereka merasa nyaman dan teduh. Dan atap daun tebu tersebut tergolong tahan lama, bisa bertahan selama dua tahun. Ketika daun tebu tersebut sudah rusak mereka langsung menggantinya dengan stok yang sudah di siapkan.
Ada lagi yang menjadi ciri khas dari bangunan rumah tersebut yaitu rumah adat tersebut alasnya tidak menggunakan keramik atau atau semen yang di plester. Tetapi mereka menggunakan tanah yang asli dari desa tersebut. Maksudnya langsung tidak menggunakan campuran tanah lainya.
Ada suatu kejadian, mereka ingin mengubah akses jalan, yang awalnya jalan mereka masih menggunakan tanah, mereka ingin merubah dengan menggunkan semen atau di plester, tetapi ketika mereka sudah selesai membangun jalan tersebut, tiba-tiba masyarakat desa tersebut mengalami suatu musibah dengan penyakit. Hampir rata-rata mereka mengalami sakit. Dan mereka semua berpikir ada apa ini, ko bisa terjadi dengan secara tiba-tiba, lalu mereka ingat dengan para leluhur mereka bahwa jangan sekali-kali merenovasi warisan. Dan mereka langsung membongkar jalan tersebut dan mengubahnya menjadi seperti semula. Lalu secara bertahap penyakit tersebut hilang dengan sendirinya. Nah dari situ lah masyarakat desa keputihan menjaga utuh warisa budaya yang diwarisi oleh para leluhurnya. Rumah adat desa keputihan yang masih bertahan ada sekitar 17 rumah yang tersisa.
Kearifan lokal yang dimiliki desa keputihan tidak hanya dari bangunan. Ada satu yang menjadi daya tarik yaitu sebuah sumur yang terletak tidak jauh dari pemukiman warga. Apa yang menjadi keunikan dari sumur tersebut yaitu suatu kepercayaan masyarakat sekitar kepada air yang terkandung di dalam  sumur tersebut. Katanya dahulu desa keputihan mengalami kekeringan atau sering di sebut krisis air, tetapi ada ang aneh denag sumur ini, sumur ini sama sekali tidak kering malahan mah selalu penuh dan bersih, dan semua warga memanfaatkan sumur tersebut. Lalu ada ynag unik menurut kepercayaan meraka air sumur tersebut, jika ada orang yang mandi atau membasuh muka dengan air tersebut maka orang tersebut akan di mudahkan jodohnya.
Di dalam kearifan lokal pertanian di wilayah desa keputihan, warga boleh saja menanam apa saja pertanian di wilayah tersebut seperti rotan, tomat, padi, kecuali cabe mereka dilarang menanam cabe di sekitar desa keputihan karena secara tidak sengaja cabe tersebut langsung mengandung racun, jelas tidak tahu asal-usulnya racun tersebut datang pada cabe tersebut. Namun mereka percaya bahwa itu larangan dari leluhur. Jadi masyarakat kasepuhan sama sekali tidak menanam cabe, jika mereka menginginkan cabe mereka mungkin membelinya di tempat lain atau di warung di desa sebelah.
Dan kembali lagi dengan kearifan lokal tentang bangunan rumah, apabila ada masyarakat ingin membangun rumah atau ada rumah tangga baru yang menginginkan rumah tapi tidak mau menggunkan desain rumah adat, maka rumah tangga baru tersebut di perbolehkan asalakan di daerah lain tidak di kawasan desa keputihan.



BAB VIII
UPAYA-UPAYA PELESTARIAN TERHADAP KEARIFAN LOKAL MASYARAKAT
Terletak sebelah utara Sumber, ibu kota Kabupaten Cirebon, nama Dusun Keputihan di Desa Kertasari, Kecamatan Weru, Kabupaten Cirebon, tampaknya masih belum dikenal banyak orang. Namanya masih terkalahkan oleh Kampung Naga di Tasikmalaya. Padahal dua kampung beda kabupaten tersebut sama-sama masih memegang tradisi leluhur.
Tradisi yang paling kasat mata adalah bangunan rumah para warganya. Meski saat ini jumlahnya tinggal sedikit, semua bangunan rumah di Dusun Keputihan benar-benar tradisional. Beratapkan daun tebu yang disusun sedemikian rupa supaya bisa melindungi penghuninya dari terik matahari dan guyuran hujan lebat, dinding rumah juga tidak menggunakan batu bata.
Warga memilih anyaman bambu sebagai dinding rumah mereka. Rumah pun dibiarkan hanya berlantaikan tanah, bukan ubin dari keramik dan sebagainya. Kamar mandi mereka buat di luar rumah. Itu pun masih tradisional, yakni dengan dilengkapi gerekan.
Sungguh sangat sekali memegang teguh adat kepercayaan yang di warisi oleh para leluhur mereka. Dan yang sangat kita khawatirkan bahwa desa keputihan ini masih belum terkenal atau di kenal oleh masyarakat indonesia. Mungkin dari faktor promosinya yang kurang atau tingkat keunikannya kurang sehingga tak banyak di jumpai oleh para wisatawan.
Kita sebagai warga indonesia semestinya harus mempertahankan budaya atau tradisi kita. Karena itulah yang menjadi poin yang baik dalam daya tarik negara lain bahwa negara kita ini mempunyai berbagai budaya yang unik dan memiliki daya tarik tersendiri tidak menjiplak dari budaya luar. Dan intinya bagaimana caranya budaya tersebut tidak punah atau hilang begitu saja dimakan usia, artinya kita sebagai warga yang berbudaya harus mempertahankan data istiadat yang diwariskan oleh para leleuhur kita. Khususnya mempertahankan budaya atau kearifan lokal yang ada di desa keputihan cirebon ini.
Sejarah lokal adalah bagian dari sejarah nasional yang harus kita jaga dan tetap kita lestarikan baik bangunan maupun benda-benda peninggalannnya, kita sebagai generasi muda hendaknya jangan sampai terlitas dalam pikiran kita untuk melupakan peninggalan sejarah baik diwilayah lain maupun di wilayah kita sendiri.
Yang pertama dari masyarakat adat itu sendiri harus mempertahanannya dengan konsisten tidak merubah atau merenovasi bangunan atau ciri khas yang ada di desa terebut. Lebih baik merawatnya dengan rapih, dan alangkah lebih baiknya alagi terus membangun suatu bagunan supaya bagunan tersebut mejadi banyak dan menjadi luas daerahnya. Dan masyarakat tersebut harus memperindah kembali tempat-tempat yang akan di kunjungi oleh warga seperi kamar mandi, tempat duduk, akses jalan menuju sumur, ada musholanya buat ibadah sehingga warga uang datang kesitu merasa nyaman dan enak untuk menginginkan observasi atau berinteraksi dengan warga sekitar.
Yang kedua pemerintah pusat atau pemerintah daerah berkontribs dalam membangun desa keptihan tersebut sehingga menjadi daya tarik tambah bagi kearifan lokal yang ada di wilayah cirebon. Pemerintah seharusnya mendukung atau menyumbang dana bagi desa keputihan seperti ketika ada di jalan besar di buat plang “desa adat keputihan” dan menambakannya di dnia internet. Terus dengan membangun sarana dan prasarana seperti kases jalan untuk memasuku desa keputihan tersebut. Membangun tempat penginapan jika ada warga yang ingin menginap di situ. Membangun mushola sebagai tempat ibadah.
Pemeritah hendaknya turut berpartisipasi dalam menjaga keutuhan bangunan-bangunnan bersejarah yang terdapat di negara yang kita cintai ini, memberikan pengarahan pada seluruh masyarakat khususnya generasi muda agar tetap menjaga dan melestarikan peninggalan-peninggalan bersejarah tersebut agar dapat bermanfaat bagi kehidupan kita pada masa yang akan datang.Melakukan pemugaran sangat perlu dilakukan untuk memperbaiki bangunan-bangunan bersejarah yang telah rusak agar nampak seperti baru kembali.




Bab IX
KESIMPULAN
Dari hasil pengamatan dan wawancara kami menyimpulkan bahwa Desa Keputihan merupakan Desa yang masyarakatnya masih benr-benar-benar menjunjung tinggi adat istiadat leluhurnya di dalam kehidupan sehari-hari mereka, terutama berkaitan perihal bangunan rumah dan lingkungan sekitar.
 Bangunan rumah di Kampung Adat Keputihan kebanyakan masih relatif asli, walaupun ada beberapa yang sudah mengalami perubahan, misalnya pada bagian atap yang seharusnya menggunakan bahan dari dedaunan seperti daun kelapa dan daun tebu yang disebut welit, sekarang terpaksa diganti menggunakan seng maupun asbes, karena bahan pembuatan welit seperti daun tebu yang terkadang susah didapatkan. Walaupun begitu mereka tidak sembarangan saat mengganti bagian atap dengan seng atau asbes ini untuk menghindari kepercayaan akan terkena ‘apes’ karena dianggap telah melanggar aturan leluhur  mereka sebelumnya melakukan ritual kecil untuk meminta izin kepada leluhur disana.
Begitu juga lantai yang seharusnya hamparan tanah ada beberapa rumah yang sudah menggunakan peluran (adukan semen dengan pasir). Jumlah bangunan rumah pun sekarang sudah berkurang karena ada beberapa warga yang keluar dari Kampung Keputihan dengan alasan ingin memiliki bangunan permanen.
Satu hal lain yang unik dari Desa Keputihan ini dimana tidak adanya masyarakat yang berani membangun bangunan baru di dalam desa keputihan ini sekalipun itu kamar mandi, untuk keperluan kakus mereka memanfaatkan satu sumur yang dipercaya sudah ada sejak zaman dahulu dan untuk mandi serta buang hajat mereka hanya mengaitkan kain pada pohon sebagai sekat penutupnya.
Walaupun demikian, kentalnya rasa untuk melestarikan adat istiadat dan memelihara kepercayaan turun temurun dari leluhur masih sangat terasa.



1 comment:

jadilah yang pertama memberi komentar :)