Catatan : Ini merupakan tugas laporan Kuliah Lapangan Mahasiswa pendidikan Sosiologi UPI ke Desa Keputihan Cirebon pada tanggal 17 Mei 2014
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Indonesia
adalah negara yang mempunyai keanekaragaman budaya di setiap daerahnya masing-
masing satu budaya memiliki keunikan tersendiri sehingga berbeda dengan budaya
lainnya. Di sisi lain masyarakat Indonesia juga tetap menjaga, merawat dan melestarikan
kebudayaan serta kearifan lokal yang mereka miliki sehingga corak masyarakat
cultural Indonesia tidak begitu saja luntur tergerus zaman.
Tidak
dapat dipungkiri bahwa pesatnya ilmu pengetahuan dan teknologi maju, tentu akan
menyebabkan nilai-nilai tradisi mulai terdesak dengan tidak lagi mendarah
daging di dalam kehidupan masyarakat saat ini, namun berbeda dengan masyarak
yang kami temui di Desa Keputihan Cirebon yang tetap memegang teguh nilai-nilai
tradisi leluhurnya.
B. Rumusan
Masalah
1. Bagaimana
Asal usul daerah dan masyarakat yang ada di Desa
Keputihan
?
2. Bagaimana
Kependudukan dan Mata pencaharian yang ada di Desa Keputihan ?
3. Apa
saja Organisasi yang terdapat di Desa
Keputihan ?
4. Bagaimana
proses Adat istiadat dan Kebudayaan yang ada di Desa Keputihan ?
5. Apa
saja Sistem religi dan Kepercayaan yang terdapat di Desa Keputihan ?
6. Bagaiman
Kearifan lokal masyarakat di Desa
Keputihan ?
7. Bagaimana
Upaya-upaya pelestarian terhadap kearifan lokal di Desa Keputihan ?
C. Tujuan
1.
Untuk menjelaskan Asal usul daerah
dan Masyarakat Desa Keputihan
2.
Untuk memjelaskan Kependudukan dan
Mata pencaharian Desa Keputihan
3.
Untuk menjelaskan mengenai
Organisasi Sosial Desa Keputihan
4.
Untuk menjelaskan Adat istiadat dan
Kebudayaan Desa Keputihan
5.
Untuk menjelaskan Sistem religi dan
Kepercayaan Desa Keputihan
6.
Untuk menjelaskan tentang Kearifan
Lokal Masyarakat Desa Keputihan
7.
Untuk menjelaskan Upaya – upaya
pelestarian terhadap kearifan lokal masyarakat Desa Keputihan
D. Manfaat
Adapun
manfaat-manfaat yang kami peroleh dari penelitian, yaitu :
1.
Manfaat yang kami peroleh dari Kuliah
Kerja Lapangan ini
adalah kami mendapat pengalaman langsung untuk
mengetahui bagaimanakah adat istadat dan
kearifan lokal masyarakat yang ada di Desa Keputihan Cirebon, serta
2. Dapat melihat secara langsung serta lebih memahami bagaimana
cara masyarakat bertahan dan mempertahankan kearifan lokal
daerahnya ditengah arus globalisasi yang kuat seperti saat ini.
BAB II
ASAL-USUL DAERAH
DAN MASYARAKAT
Menurut penuturan Abah Idam seorang narasumber
yang kami wawancara langsung di Desa Keputihan, Sejarah keberadaan desa ini dimulai pada abad
ke 14 atau sekitar tahun 1400 dimana pada awalnya desa ini ditempati oleh
orang-orang yang dianggap suci, mereka ini adalah para penganut agama hindu dan
budha dimana mereka adalah orang-orang dengan tingkatan melebihi biksu dan
biksuni. Bila diibaratkan dalam islam orang-orang yang dianggap suci ini
setingkat dengan para wali Allah.
Kemudian di tahun 1420 seorang
bernama Syekh Idhofi Mahdi yang berasal
dari Baghdad datang dan menetap di
Gunung Jati di Gunung Jati ini beliau
memiliki banyak murid yang ingin berguru ajaran agama islam kepadanya diantara
muridnya yaitu Pangeran Pangjunan, Pangeran Kejaksan, Syekh Syarif. Oleh karena
itu Syekh idhofi Mahdi terkenal dengan sebutan Penataagaa panambangan.
Dari sinilah agama islam berkembang
pesat di tanah Jawa khususnya di Cirebon, Akan tetapi dibalik kemajuan agama
islam ini Raja Padjajaran yaitu Prabu Siliwangi yang notabene beragama Hindu
merasa tidak senang dengan kemajuan agama islam islam dan tidak menghendaki
islam menyebar di tanah jawa. Namun walaupun demikian, salah satu diantara
ketiga anaknya dari Nyimas Subang Ranjang yaitu Pangeran Walangsungsang mempelajari islam dan berguru kepada Syekh
Idhofi Mahdi yang berada di Gunung Jati. Selain itu anak keduanya yaitu Nyimas
Rara Santang bersuamikan seorang Mesir bernama Maulana Abdullah. Yang kemudian
dari pernikahan ini lahir Syarif Hidayatullah atau yang kita kenal sekarang ini
Sunan Gunung Jati.
Suatu hari Prabu Siliwangi
merencanakan penyerangan ke daerah dimana anaknya yaitu Pangeran Walangsungsang
(mbah kuwu cirebon) dan putunya yaitu Sunan Gunung Jati mempelajari dan
mengembangkan islam, tapi pada akhirnya Prabu Siliwangi memberitahukan hal ini
kepada anak dan putunya dan menyuruh mereka pergi ke desa Keputihan yang saat
itu masih ditempati oleh golongan orang-orang suci yang beragama Hindu dengan
syarat mereka harus memasuki desa itu dengan etika dan sopan santun tanpa
kekerasan.
Tiba di desa Keputihan mereka
disambut oleh Pucuk Umun yang merupakan seorang pimpinan dikalangan orang-orang
yang dianggap suci itu sekaligus orang yang menghormati Prabu Siliwangi sebagai
Rajanya, menyambut Mbah Kuwu Cirebon dan
Sunan Gunung Jati yang datang dengan damai dan namun dibalik itu tanpa
sepengetahuannya mereka tetap
memyebarkan islam dengan taktik dan strategi yang cerdas melalui kebudayaan
yang mereka bawa yaitu lewat kesenian wayang, dimana orang yang ingin melihat
pertunjukan wayang ini diharuskan membayar dengan mengucapkan dua kalimat
syahadat.
Maka jadilah semakin hari islam
semakin kuat dan banyak penganutnya di tanah Jawa khususnya di Cirebon Pucuk
Umun yang tak ingin berpindah agam pun keluar dari Desa Keputihan bersama
orang-orangnya dengan damai dan atas nama mengalah karena tidak ingin melakukan
peperangan dengan Anak serta cucu dari raja“sesembahannya” yaitu Prabu
Siliwangi.
Maka Pucuk Umun pun pergi ke Banten namun
sebelum pergi ia berpesan agar nama Desa Keputihan tidak diganti sebagai tanda
bahwa golongan orange-orang yang dianggap suci pernah menempati desa itu dan
yang kedua ia berpesan untuk tidak mengganti bahan-bahan bangunan dan
merenovasi rumah-rumah yang ada di Desa Keputihan. Inilah sekilas mengenai asal
usul serta kepercayaan turun temurun yang dianggap keramat oleh penduduk desa
Keputihan.
BAB III
KEPENDUDUKAN DAN
MATA PENCAHARIAN
Daerah
Keputihan termasuk Desa Karang Sari, karena pemekaran Desa Karang Sari berubah nama menjadi Desa Kerta Sari. Luas Desa
Keputihan sendiri seluas 2 hektar pada abad 14. Jumlah rumah pada awal
terbentuknya Desa Keptuhian ada 17, atap
rumah terbuat dari pelit (tebu). Banyak yang bertanya mengapa rumah di Desa
Keputihan hanya terdapat 17 rumah, Karena dulu siasat mbaku cirebon dibalik
angka 17 ada suatu misteri yang kuat yaitu Shalat 5 watu yang jumlah keseluruhan rakaatnya berjumlah 17 jadi ada
kaitnanyya sam jumlah yang 17 tersebut. Di Desa Keputihan sama dengan desa
lainnya, mempunyai RT dan RW, tidak ada pengistimewaan untuk desa keputihan,
dalam hal ini hanya saja Desa Keputihan penduduknya saudara semua.
Kondisi
saat ini jumlah rumah yang tadinya 17 menjadi 14 rumah, karena banyak penduduk
yang meninggalkan Desa Keputihan, faktor utama penyebab berkurangnya jumlah
rumah, karena di desa keputihan sendiri tidak ada paksaan untuk menetap dan
keluar dari ada desa Keputihan. Kebanyakan yang meninggalakn desa keputihan
adalah anak yang sudah menikah diberi pilihan mau tetap menjadi bagian dari
kampung adat atau keluar, lebih banyak yang meilih keluar karena, rumah dari
desa keputihan sendiri tidak dapat dirubah bentuknya, itu merupakan amanat dari
sesepuh. Mereka banyak yang keluar dan meninggalkan rumah dan membuat rumah
diluar kampung adat, itu sebabnya jumlah rumah menjadi berkuang
Jumlah
penduduk desa sekarang ada dua puluh enak kepala keluarga, biasanya satu rumah
dihuni oleh dua sampai tiga kepala keluarga. Mayoritas penduduk desa keputihan
orang pribumi asli tidak ada pendatang.
Jenjang
pendidikan merupakan penopang yang kuat untuk mnedapatkan pekerjaan yang lebih
baik tetapi dalam masyarakat adat Keputihan sumber daya manusianya hanya
mengenyam pendidikan di jenjang tertinggi hanya sampai SMA.. Dari pihak
laki-laki menganyam hasilnya berupa abaka, rotan, kursi. Pendistribusian hasil
anyam tersebut biasanya ke perusahaan. Sedangkan yang menegnyam jenjang
pendidikan yang tinggi masuk keperusahaan swasta yg sdm nya sekiranya
mencukupi. “Di desa Keputihan tidak monoton biasanya orang yang basicnya berani
dan mempunyai kelebihan sering melakukan ngesup” penjelasan dari Pak Arif
Sudarsono. Ngesup sendiri diartikan mengambil barang dari perusahaan dan
diselesaikan dirumah lalu dikemablikan lagi ke perusahaan. Pendisitribusian barangnya
tidak dilakukan sendir tetapi kita menegmablikan lagi ke perusahaan dan
perusahaan tersebut yang melakukan distribusi.
BAB
IV
Organisasi
Sosial
A. Definisi Organisasi Sosial
Organisasi sosial adalah
perkumpulan sosial yang
dibentuk oleh masyarakat,
baik yang berbadan hukum maupun yang tidak berbadan hukum, yang berfungsi sebagai sarana partisipasi
masyarakat dalam pembangunan bangsa dan negara. Sebagai makhluk yang
selalu hidup bersama-sama, manusiamembentuk
organisasi sosial untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu yang tidak dapat mereka
capai sendiri.
Lembaga sosial merupakan
tata cara yang telah diciptakan untuk mengatur hubungan antar manusia dalam
sebuah wadah yang disebut dengan Asosiasi. Lembaga dengan Asosiasi memiliki
hubungan yang sangat erat. Namun memiliki pengartian yang berbeda. Lembaga
yangg tidak mempunyai anggota tetap mempunyai pengikut dalam suatu kelompok
yang disebut asosiasi. Asosiasi merupakan perwujudan dari lembaga sosial.
Asosiasi memiliki seperangkat aturan, tatatertib, anggota dan tujuan yang
jelas. Dengan kata lain Asosiasi memiliki wujud kongkret, sementara Lembaga
berwujud abstrak.
B. Ciri-Ciri Organisasi Sosial
1.
Rumusan batas-batas
operasionalnya(organisasi) jelas. Seperti yang telah dibicarakan diatas,
organisasi akan mengutamakan pencapaian tujuan-tujuan berdasarkan keputusan
yang telah disepakati bersama. Dalam hal ini, kegiatan operasional sebuah
organisasi dibatasi oleh ketetapan yang mengikat berdasarkan kepentingan
bersama, sekaligus memenuhi aspirasi anggotanya.
2.
Memiliki identitas yang jelas. Organisasi
akan cepat diakui oleh masyarakat sekelilingnya apabila memiliki identitas yang
jelas. Identitas berkaitan dengan informasi mengenai organisasi, tujuan
pembentukan organisasi, maupun tempat organisasi itu berdiri, dan lain
sebagainya.
3.
Keanggotaan formal, status dan peran. Pada
setiap anggotanya memiliki peran serta tugas masing masing sesuai dengan batasan
yang telah disepakati bersama.
Organisasi
Sosial Masyarakat Keputihan Cirebon
Organisasi sosial yang terdapat di
masyarakat kaputihan Cirebon hanya lah Rukun Tetangga (RT) saja.
BAB
V
ADAT
ISTIADAT DAN KEBUDAYAAN
Adat
Istiadat yang masih berlaku di Kampung Keputihan Desa kertasari , Cirebon yaitu
memelihara larangan - larangan seperti rumah tidak boleh menggunakan tembok ,
jendela tidak boleh memakai kaca , atap hanya digunakan dengan memakai dedaunan
seperti daun tebu atau daun kelapa . Dan
adat istiadat ini memiliki aturan yang mengikat .
Kemudian
apabila masyarakat keputihan melanggar aturan dari adat - istiadat leluhur dianggap
akan mendapatkan karma seperti terkena
penyakit yang tidak bisa disembuhkan dan sulit mendapatkan rejeki . Hal ini
dibuktikan dengan suatu peristiwa yaitu beberapa tahun lalu dimana
pernah ada warga pendatang membangun atap dari
genting dan tak lama sesudah itu salah satu dari keluarganya sakit dan
meninggal dunia.
Tetapi
dengan adanya perkembangan zaman , masyarakat kampung keputihan kini telah
menggunakan atap dari seng atau abses namun ada beberapa yang masih menggunakan
atap dari daun kelapa , hal itu disebabkan karena sulitnya mencari daun kelapa
. Namun , harus memiliki izin dari leluhur di kampung keputihan .
Untuk kamar mandi sendiri, warga kampung keputihan
membangun kamar mandinya di luar rumah dan masih menggunakan sumur kerek dengan
timba dan ember untuk mengambil air. Kamar mandinya pun terbilang sangat
sederhana dan sedikit terbuka yang hanya ditutupi dengan penutup seadanya
setinggi pusar orang dewasa hingga jika mandi haruslah sambil berjongkok.
Sumur-sumur ini pun tak jarang merupakan sumur bersama yang artinya jika ingin
mandi maka harus bergilir dengan tetangga, pun begitu dengan perawatannya
seperti menguras sumur tiap bila sumber air mulai menyusut atau air mulai
sedikit keruh maka para tetangga yang merasa ikut mandi di sumur tersebut akan
saling bergotong royong melakukannya.
Selain
itu , jumlah rumah warga di kampung keputihan menjadi berkurang dikarenakan
banyak warga yang pindah ke tempat lain agar dapat membangun rumah yang memakai
atap dari genting dan ada juga warga yang tidak bertahan hidup dikarenakan
aturan adat istiadat dari leluhur .
Dan
kebudayaan di kampung keputihan masih sangat dijaga dan dipelihara oleh
masyarakat kampung keputihan .
Artikel
pendukung
Tradisi Unik Di Keputihan
http://portalcirebon.blogspot.com/2010/04/tradisi-unik-diKeputihan.html
Diakses 18/05/2014 16:33
Di tengah kemajuan Kabupaten
Cirebon, sekelompok masyarakat setempat masih tetap mempertahankan tradisi
leluhur. Mereka tinggal di dusun Keputihan desa Kertasari Kecamatan Weru,
dengan wilayah seluas 4 hektare. Di sana tinggal sebanyak 23 KK. Selain
bertani, mereka juga menjadi perajut net dan pengrajin rotan.
Tradisi leluhur yang masih dipertahankan warga adalah tidak mau membangun rumah dengan menggunakan bahan yang mengandung unsur tanah, seperti genteng dan batu-bata. Salah seorang warga, mbah Samiaji menuturkan, hal itu berarti penghuni rumah hidup di bawah atau dikelilingi tanah. Sedangkan warga berkeyakinan bahwa hanya orang yang telah meninggal saja yang hidup di dalam tanah. Dengan demikian seluruh rumah di wilayah tersebut, menggunakan atap daun dan dinding dari anyaman bambu.
Aturan ini bersifat mengikat, termasuk bagi pendatang. Asmuni warga desa Karangsari yang menetap di sana setelah menikahi warga setempat, merasa tidak masalah untuk mengikuti tradisi tersebut. Kemudian istrinya Rohmah menceritakan, beberapa tahun lalu pernah ada warga pendatang yang berani membangun rumah dengan menggunakan atap genting, dan tak lama sesudah itu, salah seorang anggota keluarganya menderita sakit hingga akhirnya meninggal dunia.
Kondisi ini tentu saja membuat warga takut untuk melanggar aturan tersebut. Kedua anak Asmuni juga tidak merasa terasing, bahkan tidak ada masalah bermain dengan teman – teman sebayanya, yang bukan warga Keputihan. Salah seorang putranya, Nurohman (11 tahun) justru merasa lebih kerasan tinggal di dalam rumahnya yang sederhana, daripada tinggal di rumah keluarga ayahnya di Karangsari, meskipun lebih permanen.
Suasana kekeluargaan juga terasa kental antara warga yang masih memegang tradisi dengan sebagian besar warga lainnya di dusun keputihan.
Satu - satunya warga yang berani menentang tradisi setempat adalah Pak Sarmun. Meski istrinya meninggal dunia setahun setelah membangun rumah permanen di dusun keputihan, namun ia yakin dan percaya bahwa musibah datang semata-mata karena takdir Allah SWT, bukan karena tradisi yang dipegang sebagian warga di Keputihan. Sedikit pun ia tak percaya, jika kematian sang istri akibat kutukan atau memiliki kaitan dengan tradisi yang dipegang tetangga sekitar.
Di luar konteks kepercayaan tersebut, sebenarnya warga tidak sepenuhnya menolak modernisasi, terbukti beberapa diantaranya menyimpan radio dan televisi serta mempunyai kendaraan bermotor roda dua.
Konon nama Keputihan berasal dari kejadian aneh beberapa ratus tahun silam. Di tengah dusun ada sebuah sumur tua yang digunakan warga, untuk keperluan sehari – hari. Dari dasar sumur muncul tanah putih sebesar lingkaran payung. Air sumur yang awalnya berwarna coklat dan kehitam-hitaman, lalu berubah menjadi jernih. Sejak saat itulah, dusun tersebut dinamakan Keputihan.
Menurut Budayawan Cirebon, Ki Kartani, tradisi masyarakat di dusun Keputihan harus tetap dilestarikan sebagai salah satu khasanah budaya bangsa. Dengan catatan tidak menjadikan tradisi tersebut sebagai agama. Bahkan dapat menjadi objek wisata yang menarik, karena keunikan masyarakat dan tradisinya. Tapi tentunya membutuhkan partisipasi semua pihak, terutama pemerintah setempat.
Tradisi leluhur yang masih dipertahankan warga adalah tidak mau membangun rumah dengan menggunakan bahan yang mengandung unsur tanah, seperti genteng dan batu-bata. Salah seorang warga, mbah Samiaji menuturkan, hal itu berarti penghuni rumah hidup di bawah atau dikelilingi tanah. Sedangkan warga berkeyakinan bahwa hanya orang yang telah meninggal saja yang hidup di dalam tanah. Dengan demikian seluruh rumah di wilayah tersebut, menggunakan atap daun dan dinding dari anyaman bambu.
Aturan ini bersifat mengikat, termasuk bagi pendatang. Asmuni warga desa Karangsari yang menetap di sana setelah menikahi warga setempat, merasa tidak masalah untuk mengikuti tradisi tersebut. Kemudian istrinya Rohmah menceritakan, beberapa tahun lalu pernah ada warga pendatang yang berani membangun rumah dengan menggunakan atap genting, dan tak lama sesudah itu, salah seorang anggota keluarganya menderita sakit hingga akhirnya meninggal dunia.
Kondisi ini tentu saja membuat warga takut untuk melanggar aturan tersebut. Kedua anak Asmuni juga tidak merasa terasing, bahkan tidak ada masalah bermain dengan teman – teman sebayanya, yang bukan warga Keputihan. Salah seorang putranya, Nurohman (11 tahun) justru merasa lebih kerasan tinggal di dalam rumahnya yang sederhana, daripada tinggal di rumah keluarga ayahnya di Karangsari, meskipun lebih permanen.
Suasana kekeluargaan juga terasa kental antara warga yang masih memegang tradisi dengan sebagian besar warga lainnya di dusun keputihan.
Satu - satunya warga yang berani menentang tradisi setempat adalah Pak Sarmun. Meski istrinya meninggal dunia setahun setelah membangun rumah permanen di dusun keputihan, namun ia yakin dan percaya bahwa musibah datang semata-mata karena takdir Allah SWT, bukan karena tradisi yang dipegang sebagian warga di Keputihan. Sedikit pun ia tak percaya, jika kematian sang istri akibat kutukan atau memiliki kaitan dengan tradisi yang dipegang tetangga sekitar.
Di luar konteks kepercayaan tersebut, sebenarnya warga tidak sepenuhnya menolak modernisasi, terbukti beberapa diantaranya menyimpan radio dan televisi serta mempunyai kendaraan bermotor roda dua.
Konon nama Keputihan berasal dari kejadian aneh beberapa ratus tahun silam. Di tengah dusun ada sebuah sumur tua yang digunakan warga, untuk keperluan sehari – hari. Dari dasar sumur muncul tanah putih sebesar lingkaran payung. Air sumur yang awalnya berwarna coklat dan kehitam-hitaman, lalu berubah menjadi jernih. Sejak saat itulah, dusun tersebut dinamakan Keputihan.
Menurut Budayawan Cirebon, Ki Kartani, tradisi masyarakat di dusun Keputihan harus tetap dilestarikan sebagai salah satu khasanah budaya bangsa. Dengan catatan tidak menjadikan tradisi tersebut sebagai agama. Bahkan dapat menjadi objek wisata yang menarik, karena keunikan masyarakat dan tradisinya. Tapi tentunya membutuhkan partisipasi semua pihak, terutama pemerintah setempat.
diakses 18/05/2014 16:33
Jika di Tasikmalaya
ada Kampung Naga yang merupakan perkampungan adat yang masih begitu menjunjung
tinggi nilai-nilai budaya leluhurnya maka di Cirebon pun ada perkampungan yang
kurang lebih memiliki kesaman dengan kampung tersebut yakni di Dusun Keputihan
yang terletak di sebelah utara kota Sumber, tepatnya di Desa Kertasari
Kecamatan Weru, Kabupaten Cirebon. Nama Keputihan sendiri konon berasal dari
kejadian aneh di masa lampau. Di tengah dusun itu terdapat sebuah sumur tua
yang secara tiba-tiba dari dalamnya menyembul segumpal tanah berwarna putih susu
sebesar setengah lingkar sumur tersebut. Tanah yang semula hitam layaknya warna
Lumpur menjadi berwarna putih itu membuat warga gempar. Sejak kejadian itulah
nama dusun ini dinamakan dusun Keputihan.
Mata pencaharian sebagian warga dusun yang hanya terdiri dari 12 rumah ini sendiri adalah buruh tani dan sebagian lainnya menjadi buruh menganyam kursi rotan di desa tetangga yaitu di sentra kerajinan rotan di desa Sindang Wangi Plumbon. Sebagai sampingan penghasilan, kaum perempuannya bekerja juga sebagai pembuat net voli atau tenis. Pekerjaan tersebut dilakukan di rumah dengan upah Rp 2.000-Rp 6.000 per satu net.
Yang menarik dari dusun ini adalah tentang keteguhan mereka untuk menjaga warisan budaya leluhurnya. Bukti-bukti tradisi leluhur yang paling mencolok dan begitu kukuh tak tergoyahkan oleh perubahan zaman adalah salah satunya bangunan rumah warganya yang masih begitu tradisional yakni hanya memakai gedeg bambu (bilah-bilah bambu yang di anyam hingga membentuk pagar rapat), beratapkan atap yang terbuat dari welit yaitu daun tebu kering yang disusun sedemikian rupa dan dijepit dengan bilah bambu di tiap ujungnya, dan lantai yang dibiarkan tak berplester apalagi berkeramik. Di beberapa bagian rumah seperti untuk ruang tamu hanya dialasi dengan terpal dan sama sekali tak ada perabotan seperti sofa dan lainnya. Para tamu dipersilahkan untuk duduk lesehan layaknya orang Jepang, atau pada amben (bale dari bambu yang dipipihkan) di beranda rumah.
Untuk kamar mandi sendiri, warga dusun keputihan membangun kamar mandinya di luar rumah dan masih menggunakan sumur kerek dengan timba dan ember untuk mengambil air. Kamar mandinya pun terbilang sangat sederhana dan sedikit terbuka yang hanya ditutupi dengan penutup seadanya setinggi pusar orang dewasa hingga jika mandi haruslah sambil berjongkok. Sumur-sumur ini pun tak jarang merupakan sumur bersama yang artinya jika ingin mandi maka harus bergilir dengan tetangga, pun begitu dengan perawatannya seperti menguras sumur tiap bila sumber air mulai menyusut atau air mulai sedikit keruh maka para tetangga yang merasa ikut mandi di sumur tersebut akan saling bergotong royong melakukannya.
Ya, gotong royong, sebuah kearifan lokal yang tercatum dalam butir ppancasila itu memang masih begitu mengakar di kalangan warga dusun Keputihan ini. Setiap ada warga yang membutuhkan tenaga banyak orang seperti membangun rumah, hajatan, kendurian dan sebagainya maka para tetangga tidak akan segan-segan ikut membantu tanpa mengharapkan imbalan apa pun. Menyenangkan bukan gaya hidup seperti itu?
Perihal atap rumah yang sama sekali tak menggunakan genteng itu warga Dusun Keputihan punya cerita tersendiri. Seperti yang dituturkan salah satu warga bahwa genteng merupakan barang haram di dusun ini karena konon sejak dulu tiap kali ada warga Dusun Keputihan yang menggunakan genteng sebagai atap rumahnya maka orang tersebut dipastikan akan terkena mala seperti selalu sakit-sakitan dan bahkan meninggal mendadak. Warga sendiri tak tahu persis bagaimana awalnya hal itu bisa terjadi dan apa penyebabnya, hanya saja karena korban yang berjatuhan tiap rumahnya beratapkan genteng tidak hanya menimpa pada satu atau dua warga maka warga Dusun Keputihan ini kemudian percaya bahwa rumah di dusun ini tak boleh menggunakan genteng sebagai atapnya.
Karena masih memegang teguh warisan leluhurnya ini, warga Dusun Keputihan tiap bulannya menyelenggarakan selametan yang dipimpin oleh tetua kampung tersebut yang bertujuan untuk mengusir roh jahat yang menghinggapi kampung tersebut sekaligus meminta perlindungan keselamatan dan keberkahan kepada sang pencipta.
Jika Anda ingin menikmati suasana pedesan yang masih begitu kental dengan budaya leluhur maka Dusun Keputihan harus masuk ke dalam agenda tempat wajib kunjung. Dusun ini sangat cocok untuk melepas penat setelah sekian lama disibukkan oleh berbagai pekerjaan yang menuntut. Tenang saja, meski dusun ini masuk ke dalam wilayah Cirebon yang terkenal panas tapi dusun ini begitu sejuk dengan pepohonan yang tinggi dan dikelilingi oleh sawah dan ladang yang menyejukkan mata.
Mata pencaharian sebagian warga dusun yang hanya terdiri dari 12 rumah ini sendiri adalah buruh tani dan sebagian lainnya menjadi buruh menganyam kursi rotan di desa tetangga yaitu di sentra kerajinan rotan di desa Sindang Wangi Plumbon. Sebagai sampingan penghasilan, kaum perempuannya bekerja juga sebagai pembuat net voli atau tenis. Pekerjaan tersebut dilakukan di rumah dengan upah Rp 2.000-Rp 6.000 per satu net.
Yang menarik dari dusun ini adalah tentang keteguhan mereka untuk menjaga warisan budaya leluhurnya. Bukti-bukti tradisi leluhur yang paling mencolok dan begitu kukuh tak tergoyahkan oleh perubahan zaman adalah salah satunya bangunan rumah warganya yang masih begitu tradisional yakni hanya memakai gedeg bambu (bilah-bilah bambu yang di anyam hingga membentuk pagar rapat), beratapkan atap yang terbuat dari welit yaitu daun tebu kering yang disusun sedemikian rupa dan dijepit dengan bilah bambu di tiap ujungnya, dan lantai yang dibiarkan tak berplester apalagi berkeramik. Di beberapa bagian rumah seperti untuk ruang tamu hanya dialasi dengan terpal dan sama sekali tak ada perabotan seperti sofa dan lainnya. Para tamu dipersilahkan untuk duduk lesehan layaknya orang Jepang, atau pada amben (bale dari bambu yang dipipihkan) di beranda rumah.
Untuk kamar mandi sendiri, warga dusun keputihan membangun kamar mandinya di luar rumah dan masih menggunakan sumur kerek dengan timba dan ember untuk mengambil air. Kamar mandinya pun terbilang sangat sederhana dan sedikit terbuka yang hanya ditutupi dengan penutup seadanya setinggi pusar orang dewasa hingga jika mandi haruslah sambil berjongkok. Sumur-sumur ini pun tak jarang merupakan sumur bersama yang artinya jika ingin mandi maka harus bergilir dengan tetangga, pun begitu dengan perawatannya seperti menguras sumur tiap bila sumber air mulai menyusut atau air mulai sedikit keruh maka para tetangga yang merasa ikut mandi di sumur tersebut akan saling bergotong royong melakukannya.
Ya, gotong royong, sebuah kearifan lokal yang tercatum dalam butir ppancasila itu memang masih begitu mengakar di kalangan warga dusun Keputihan ini. Setiap ada warga yang membutuhkan tenaga banyak orang seperti membangun rumah, hajatan, kendurian dan sebagainya maka para tetangga tidak akan segan-segan ikut membantu tanpa mengharapkan imbalan apa pun. Menyenangkan bukan gaya hidup seperti itu?
Perihal atap rumah yang sama sekali tak menggunakan genteng itu warga Dusun Keputihan punya cerita tersendiri. Seperti yang dituturkan salah satu warga bahwa genteng merupakan barang haram di dusun ini karena konon sejak dulu tiap kali ada warga Dusun Keputihan yang menggunakan genteng sebagai atap rumahnya maka orang tersebut dipastikan akan terkena mala seperti selalu sakit-sakitan dan bahkan meninggal mendadak. Warga sendiri tak tahu persis bagaimana awalnya hal itu bisa terjadi dan apa penyebabnya, hanya saja karena korban yang berjatuhan tiap rumahnya beratapkan genteng tidak hanya menimpa pada satu atau dua warga maka warga Dusun Keputihan ini kemudian percaya bahwa rumah di dusun ini tak boleh menggunakan genteng sebagai atapnya.
Karena masih memegang teguh warisan leluhurnya ini, warga Dusun Keputihan tiap bulannya menyelenggarakan selametan yang dipimpin oleh tetua kampung tersebut yang bertujuan untuk mengusir roh jahat yang menghinggapi kampung tersebut sekaligus meminta perlindungan keselamatan dan keberkahan kepada sang pencipta.
Jika Anda ingin menikmati suasana pedesan yang masih begitu kental dengan budaya leluhur maka Dusun Keputihan harus masuk ke dalam agenda tempat wajib kunjung. Dusun ini sangat cocok untuk melepas penat setelah sekian lama disibukkan oleh berbagai pekerjaan yang menuntut. Tenang saja, meski dusun ini masuk ke dalam wilayah Cirebon yang terkenal panas tapi dusun ini begitu sejuk dengan pepohonan yang tinggi dan dikelilingi oleh sawah dan ladang yang menyejukkan mata.
Tak Boleh Ada Genting di Dusun Keputihan
http://portalcirebon.blogspot.com/2010/05/tak-boleh -ada -genting-di-dusun-keputihan.html
diakses 18/05/2014 16:33
Terlatak sebelah utara Sumber, ibu kota Kabupaten
Cirebon, nama Dusun Keputihan di Desa Kertasari, Kecamatan Weru, Kabupaten
Cirebon, tampaknya masih belum dikenal banyak orang. Namanya masih terkalahkan
oleh Kampung Naga di Tasikmalaya. Padahal dua kampung beda kabupaten tersebut
sama-sama masih memegang tradisi leluhur.
Tradisi
yang paling kasat mata adalah bangunan rumah para warganya. Meski saat ini
jumlahnya tinggal sedikit, semua bangunan rumah di Dusun Keputihan benar-benar
tradisional. Beratapkan daun tebu yang disusun sedemikian rupa supaya bisa
melindungi penghuninya dari terik matahari dan guyuran hujan lebat, dinding
rumah juga tidak menggunakan batu bata.
Warga
memilih anyaman bambu sebagai dinding rumah mereka. Rumah pun dibiarkan hanya
berlantaikan tanah, bukan ubin dari keramik dan sebagainya. Kamar mandi mereka
buat di luar rumah. Itu pun masih tradisional, yakni dengan dilengkapi gerekan.
“Kami
memang hidup seperti ini sejak dulu. Tapi sekitar dua tahun terakhir ini sudah
mulai sedikit berubah, misalnya atap tidak lagi pakai daun tebu, tapi sudah ada
yang pakai asbes,” ujar Sukaeti (30) saat ditemui di rumahnya, Senin (8/3)
siang.
Warga,
kata Eti, demikian ibu dua anak itu biasa disapa, terpaksa menggunakan asbes
karena sulitnya memperoleh daun tebu sebagai bahan baku atap. “Hanya tinggal
dua rumah saja yang pakai atap daun tebu. Maklum sekarang kebun tebu semakin
sedikit. Jadinya ya terbatas,” kata Eti.
Mengapa
tidak menggunakan genting dari tanah liat? Warga lain, Juriah (35), menuturkan,
genting termasuk ke dalam benda yang tidak boleh digunakan oleh warga Dusun
Keputihan. Meski umumnya warga tidak tahu apa penyebabnya, berdasarkan
pengalaman yang sudah-sudah, warga yang rumahnya memakai genting tanah selalu
terkena sakit atau meninggal tiba-tiba.
“Melihat
kejadian itu, warga pada takut jika harus menggunakan genting,” kata Juriah.
Rumah warga di Dusun Keputihan memang tinggal sedikit. Jumlahnya hanya ada 12 rumah. Setiap rumah diisi oleh satu sampai dua keluarga. Seperti di rumah milik Suti (60). Bersama dua anak, satu menantu, dan dua cucu laki-laki, Suti menempati rumah kecil yang masih menganut tradisi leluhur.
Rumah warga di Dusun Keputihan memang tinggal sedikit. Jumlahnya hanya ada 12 rumah. Setiap rumah diisi oleh satu sampai dua keluarga. Seperti di rumah milik Suti (60). Bersama dua anak, satu menantu, dan dua cucu laki-laki, Suti menempati rumah kecil yang masih menganut tradisi leluhur.
“Atapnya
memang masih pakai daun tebu. Ini sengaja karena selain tradisi juga pakai atap
tebu lebih nyaman,” ujar Suti.
Atap
rumahnya itu hasil olah tangannya sendiri. Setiap kali musim panen tebu, dia
memanfaatkan daunnya untuk dibuatkan atap. Daun-daun tebu tersebut disusun
sedemikian rupa dengan bantuan bambu sepanjang 1,5 meter.
Menurut
Suti, atap daun tebu tergolong tahan lama. Bisa bertahan sampai umur dua tahun.
Setelah itu, barulah diganti. “Lumayan, Nok,” katanya.
Rumah
Suti betul-betul masih sangat tradisional. Di dalamnya masih berlantaikan
tanah. Memiliki dua kamar tidur yang dilengkapi ranjang, ruang tamu cukup
dialasi oleh terpal. Para tamu hanya dipersilakan duduk di bawah, atau jika
mau, cukup duduk di atas amben (tempat duduk dari bambu yang dipipihkan) di
luar rumah.
Karena
masih memegang tradisi leluhur, setiap bulan di Dusun Keputihan selalu
digelar selamatan. Dipimpin oleh seseorang yang dianggap tetua dusun, selamatan
bertujuan untuk menghilangkan roh jahat serta mengharapkan keberkahan pada
dusun tersebut.
Nama
Keputihan, menurut warga, berasal dari kejadian aneh beberapa ratus tahun
silam. Di tengah dusun tersebut, terdapat sebuah sumur tua. Secara tiba-tiba
muncul tanah putih sebesar lingkaran payung. Tanah tersebut berwarna putih,
padahal sebelumnya berwarna biasa, yakni cokelat kehitaman. Sejak saat itulah,
dusun tersebut dinamai Dusun Keputihan.
Sebagian
besar warga Keputihan berprofesi sebagai buruh tani. Mereka menjadi buruh di
dusun tetangga, tapi ada pula yang hanya menggarap kebun milik sendiri. Sebagai
sampingan, kaum perempuannya bekerja juga sebagai pembuat net voli atau tenis.
Pekerjaan tersebut dilakukan di rumah dengan upah Rp 2.000-Rp 6.000 per satu
net.
Kaum
lelaki yang tergolong masih muda banyak yang menjadi buruh pembuat kursi dari
anyaman rotan. Mereka berburuh di desa tetangga di daerah Plumbon.
Meski
masih memegang tradisi leluhur, warga Keputihan masih peduli pada pendidikan.
Anak-anak mereka sekolahkan walau hanya tamat SD atau SMP. “Kebetulan sekolah
dekat. Tinggal jalan kaki atau naik sepeda,” kata Rohmah (30).
Dusun
Keputihan berada di daerah yang sejuk. Dikelilingi hamparan sawah serta kebun, rumah-rumah
warga juga berada di antara pohon-pohon tinggi. Tak heran jika pengunjung akan
betah berada di sana, seperti saat Tribun berkunjung Senin lalu, suasana sejuk
menyelimuti. Kondisi itu jauh berbeda dengan Cirebon pada umumnya, yang memang
bercuaca panas.
BAB VII
KEARIFAN LOKAL
DESA ADAT KEPUTIHAN CIREBON
Kearifan lokal di desa adat
keputihan ini memiliki sebuah keunikan dari desa-desa adat yang lainnya. Di
dalam suatu kesatuan masyarakat disana, mereka masih mempertahankan kebudayaan
yang diwarisi oleh para leluhurnya. Masyarakat disana sangat berpegang teguh
dalam melestarikan dan merawat apa yang di warisi oleh para sesepuhnya yang
terdahulu.
Warisan para leluhur yang
diwariskan kepada masyarakat keputihan sekarang itu, yaitu berupa stuktur bangunan
rumah yang sekarang mereka tempati. Dan suatu ciri khas yang menjadi pembeda
dengan bangunan desa adat yang lain. Bangunan rumah tersebut jika kita
gambarkan memiliki atap tidak menggunakan genting ataun asbes, tetapi dalam
bangunan atap rumah tersebut menggunakan daun tebu. Dan daun tebu tersebut
hasil dari anyaman dari tangan-tangan masyarakat desa keputihan. Mereka
memanfaatkan daun tebu ketika panen tebu dan daripada daun tebu tersebut
dibuang, mereka mempunyai daya kreatif dan memanfaatkannya sebagai pengganti
genting. Ketika mereka pasangkan kedalam rumah tersebut, mereka merasa nyaman
dan teduh. Dan atap daun tebu tersebut tergolong tahan lama, bisa bertahan
selama dua tahun. Ketika daun tebu tersebut sudah rusak mereka langsung
menggantinya dengan stok yang sudah di siapkan.
Ada lagi yang menjadi ciri khas
dari bangunan rumah tersebut yaitu rumah adat tersebut alasnya tidak
menggunakan keramik atau atau semen yang di plester. Tetapi mereka menggunakan
tanah yang asli dari desa tersebut. Maksudnya langsung tidak menggunakan
campuran tanah lainya.
Ada suatu kejadian, mereka ingin
mengubah akses jalan, yang awalnya jalan mereka masih menggunakan tanah, mereka
ingin merubah dengan menggunkan semen atau di plester, tetapi ketika mereka
sudah selesai membangun jalan tersebut, tiba-tiba masyarakat desa tersebut
mengalami suatu musibah dengan penyakit. Hampir rata-rata mereka mengalami
sakit. Dan mereka semua berpikir ada apa ini, ko bisa terjadi dengan secara
tiba-tiba, lalu mereka ingat dengan para leluhur mereka bahwa jangan
sekali-kali merenovasi warisan. Dan mereka langsung membongkar jalan tersebut
dan mengubahnya menjadi seperti semula. Lalu secara bertahap penyakit tersebut
hilang dengan sendirinya. Nah dari situ lah masyarakat desa keputihan menjaga
utuh warisa budaya yang diwarisi oleh para leluhurnya. Rumah adat desa
keputihan yang masih bertahan ada sekitar 17 rumah yang tersisa.
Kearifan lokal yang dimiliki desa
keputihan tidak hanya dari bangunan. Ada satu yang menjadi daya tarik yaitu sebuah
sumur yang terletak tidak jauh dari pemukiman warga. Apa yang menjadi keunikan
dari sumur tersebut yaitu suatu kepercayaan masyarakat sekitar kepada air yang
terkandung di dalam sumur tersebut.
Katanya dahulu desa keputihan mengalami kekeringan atau sering di sebut krisis
air, tetapi ada ang aneh denag sumur ini, sumur ini sama sekali tidak kering
malahan mah selalu penuh dan bersih, dan semua warga memanfaatkan sumur
tersebut. Lalu ada ynag unik menurut kepercayaan meraka air sumur tersebut,
jika ada orang yang mandi atau membasuh muka dengan air tersebut maka orang
tersebut akan di mudahkan jodohnya.
Di dalam kearifan lokal pertanian
di wilayah desa keputihan, warga boleh saja menanam apa saja pertanian di
wilayah tersebut seperti rotan, tomat, padi, kecuali cabe mereka dilarang
menanam cabe di sekitar desa keputihan karena secara tidak sengaja cabe
tersebut langsung mengandung racun, jelas tidak tahu asal-usulnya racun
tersebut datang pada cabe tersebut. Namun mereka percaya bahwa itu larangan dari
leluhur. Jadi masyarakat kasepuhan sama sekali tidak menanam cabe, jika mereka
menginginkan cabe mereka mungkin membelinya di tempat lain atau di warung di
desa sebelah.
Dan kembali lagi dengan kearifan
lokal tentang bangunan rumah, apabila ada masyarakat ingin membangun rumah atau
ada rumah tangga baru yang menginginkan rumah tapi tidak mau menggunkan desain
rumah adat, maka rumah tangga baru tersebut di perbolehkan
asalakan di daerah lain tidak di kawasan desa keputihan.
BAB VIII
UPAYA-UPAYA
PELESTARIAN TERHADAP KEARIFAN LOKAL MASYARAKAT
Terletak
sebelah utara Sumber, ibu kota Kabupaten Cirebon, nama Dusun Keputihan di Desa
Kertasari, Kecamatan Weru, Kabupaten Cirebon, tampaknya masih belum dikenal
banyak orang. Namanya masih terkalahkan oleh Kampung Naga di Tasikmalaya.
Padahal dua kampung beda kabupaten tersebut sama-sama masih memegang tradisi
leluhur.
Tradisi
yang paling kasat mata adalah bangunan rumah para warganya. Meski saat ini
jumlahnya tinggal sedikit, semua bangunan rumah di Dusun Keputihan benar-benar
tradisional. Beratapkan daun tebu yang disusun sedemikian rupa supaya bisa
melindungi penghuninya dari terik matahari dan guyuran hujan lebat, dinding
rumah juga tidak menggunakan batu bata.
Warga
memilih anyaman bambu sebagai dinding rumah mereka. Rumah pun dibiarkan hanya
berlantaikan tanah, bukan ubin dari keramik dan sebagainya. Kamar mandi mereka
buat di luar rumah. Itu pun masih tradisional, yakni dengan dilengkapi gerekan.
Sungguh
sangat sekali memegang teguh adat kepercayaan yang di warisi oleh para leluhur
mereka. Dan yang sangat kita khawatirkan bahwa desa keputihan ini masih belum
terkenal atau di kenal oleh masyarakat indonesia. Mungkin dari faktor
promosinya yang kurang atau tingkat keunikannya kurang sehingga tak banyak di
jumpai oleh para wisatawan.
Kita
sebagai warga indonesia semestinya harus mempertahankan budaya atau tradisi
kita. Karena itulah yang menjadi poin yang baik dalam daya tarik negara lain
bahwa negara kita ini mempunyai berbagai budaya yang unik dan memiliki daya tarik
tersendiri tidak menjiplak dari budaya luar. Dan intinya bagaimana caranya
budaya tersebut tidak punah atau hilang begitu saja dimakan usia, artinya kita
sebagai warga yang berbudaya harus mempertahankan data istiadat yang diwariskan
oleh para leleuhur kita. Khususnya mempertahankan budaya atau kearifan lokal
yang ada di desa keputihan cirebon ini.
Sejarah
lokal adalah bagian dari sejarah nasional yang harus kita jaga dan tetap kita
lestarikan baik bangunan maupun benda-benda peninggalannnya, kita sebagai
generasi muda hendaknya jangan sampai terlitas dalam pikiran kita untuk
melupakan peninggalan sejarah baik diwilayah lain maupun di wilayah kita
sendiri.
Yang
pertama dari masyarakat adat itu sendiri harus mempertahanannya dengan
konsisten tidak merubah atau merenovasi bangunan atau ciri khas yang ada di
desa terebut. Lebih baik merawatnya dengan rapih, dan alangkah lebih baiknya
alagi terus membangun suatu bagunan supaya bagunan tersebut mejadi banyak dan
menjadi luas daerahnya. Dan masyarakat tersebut harus memperindah kembali
tempat-tempat yang akan di kunjungi oleh warga seperi kamar mandi, tempat
duduk, akses jalan menuju sumur, ada musholanya buat ibadah sehingga warga uang
datang kesitu merasa nyaman dan enak untuk menginginkan observasi atau berinteraksi
dengan warga sekitar.
Yang
kedua pemerintah pusat atau pemerintah daerah berkontribs dalam membangun desa
keptihan tersebut sehingga menjadi daya tarik tambah bagi kearifan lokal yang
ada di wilayah cirebon. Pemerintah seharusnya mendukung atau menyumbang dana
bagi desa keputihan seperti ketika ada di jalan besar di buat plang “desa adat
keputihan” dan menambakannya di dnia internet. Terus dengan membangun sarana
dan prasarana seperti kases jalan untuk memasuku desa keputihan tersebut.
Membangun tempat penginapan jika ada warga yang ingin menginap di situ.
Membangun mushola sebagai tempat ibadah.
Pemeritah
hendaknya turut berpartisipasi dalam menjaga keutuhan bangunan-bangunnan
bersejarah yang terdapat di negara yang kita cintai ini, memberikan pengarahan
pada seluruh masyarakat khususnya generasi muda agar tetap menjaga dan
melestarikan peninggalan-peninggalan bersejarah tersebut agar dapat bermanfaat
bagi kehidupan kita pada masa yang akan datang.Melakukan pemugaran sangat perlu
dilakukan untuk memperbaiki bangunan-bangunan bersejarah yang telah rusak agar
nampak seperti baru kembali.
Bab
IX
KESIMPULAN
Dari hasil
pengamatan dan wawancara kami menyimpulkan bahwa Desa Keputihan merupakan Desa
yang masyarakatnya masih benr-benar-benar menjunjung tinggi adat istiadat
leluhurnya di dalam kehidupan sehari-hari mereka, terutama berkaitan perihal
bangunan rumah dan lingkungan sekitar.
Bangunan rumah di Kampung Adat Keputihan kebanyakan
masih relatif asli, walaupun ada beberapa yang sudah mengalami perubahan, misalnya
pada bagian atap yang seharusnya menggunakan bahan dari dedaunan seperti daun
kelapa dan daun tebu yang disebut welit, sekarang terpaksa diganti menggunakan
seng maupun asbes, karena bahan pembuatan welit seperti daun tebu yang terkadang
susah didapatkan. Walaupun begitu mereka tidak sembarangan saat mengganti
bagian atap dengan seng atau asbes ini untuk menghindari kepercayaan akan
terkena ‘apes’ karena dianggap telah melanggar aturan leluhur mereka sebelumnya melakukan ritual kecil untuk
meminta izin kepada leluhur disana.
Begitu juga
lantai yang seharusnya hamparan tanah ada beberapa rumah yang sudah menggunakan
peluran (adukan semen dengan pasir). Jumlah bangunan rumah pun sekarang sudah
berkurang karena ada beberapa warga yang keluar dari Kampung Keputihan dengan
alasan ingin memiliki bangunan permanen.
Satu hal lain yang unik dari Desa Keputihan ini dimana tidak adanya masyarakat yang berani
membangun bangunan baru di dalam desa keputihan ini sekalipun itu kamar mandi,
untuk keperluan kakus mereka memanfaatkan satu sumur yang dipercaya sudah ada
sejak zaman dahulu dan untuk mandi serta buang hajat mereka hanya mengaitkan
kain pada pohon sebagai sekat penutupnya.
Walaupun
demikian, kentalnya rasa untuk melestarikan adat istiadat dan memelihara
kepercayaan turun temurun dari leluhur masih sangat terasa.
wih mantap pisan penjelsan tentang desa neng cirebone
ReplyDelete